My Learning Notes

Catatan Acak Proses Belajar

WORTA, Memastikan Perdagangan Berkeadilan

WORTA_All

Tambar, seakan tak menyangka saat dilakukan refleksi
tentang pemasaran salah satu produk kelompoknya. “Kalau dihitung, ternyata saya bisa masuk seratus lima puluh ribuan sebulan untuk penjualan WORTA,” ujarnya pada Bayu Cahyono, access market project team leader YDA Solo, Rabu, 21 Nopember 2007 lalu.

Padahal, “Itu dilakukan dengan cara sambilan saja. Kalau ada teman yang butuh atau kebetulan main kemana sambil bawa WORTA, dijual atau dititipkan dulu,” lanjutnya lagi. Itu baru hasil dari seorang Tambar, Ketua Pokja KTB, petani yang juga seorang pendidik. Belum lagi hasil penjualan beberapa petani anggota lainnya dan juga oleh YDA Solo.

Pokja KTB adalah Kelompok Kerja Kelompok-kelompok Tani Kelurahan Blumbang Tawangmangu di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Sejak beberapa tahun terakhir, kelompok yang berada di lereng tertinggi Gunung Lawu ini sedang bergiat dalam pengembangan akses petani ke pasar, dengan dukungan Yayasan Duta Awam (YDA Solo), CRS Indonesia dan CORDAID Belanda.

Nilai seratus ribuan, bagi sebagian petani mungkin suatu nilai yang kecil. Namun, dalam hubungannya dengan WORTA, nilai itu suatu bentuk keyakinan bahwa perdagangan yang memihak petani (fair trade; perdagangan berkeadilan) sangat bisa dilakukan. Tentunya terpulang pada kesungguhan dan ketahanan petani, kelompok tani dan juga LSM-LSM pendukung petani.

Mengusung Merek

WORTA sendiri sebetulnya adalah merek yang diusung untuk produk Pokja KTB yang berbentuk olahan wortel varietas lokal Tawangmangu. Ingat WORTA ingat Wortel Tawangmangu. Ingat WORTA ingat Pokja KTB. Demikianlah gagasan awal munculnya merek tersebut.Saat ini Pokja KTB memiliki beberapa bidang usaha, seperti bawang putih, wortel, sarana produksi pertanian, perkoperasian dan pengembangan organisasi. Merek WORTA berada di bawah bidang usaha wortel, dengan produk andalannya berupa minuman kesehatan instant wortel.

Penjualan dan pemasaran WORTA, sebetulnya baru beranjak kurang lebih 15 bulan berjalan. Namun keberadaannya sudah mulai dikenal seantero negeri. Permintaan WORTA sudah dari beberapa daerah, seperti Jabodetabek, Pontianak, Banjarmasin, Jawa Timur dan Makassar. Belum lagi permintaan dari wilayah pemasaran utama yakni eks Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta. Sayang beberapa permintaan belum dapat dipenuhi dengan cukup baik karena factor mahalnya biaya transportasi plus organisasi usaha kelompok masih dalam tahapan belajar.

Luasnya permintaan WORTA, memang sangat ditunjang oleh pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam promosi. YDA Solo membantu mempromosikan WORTA melalui online promotion (promosi via internet) dengan membuat beberapa web blog tentang WORTA, serta memanfaatkan layanan-layanan internet gratis. Misalnya http://agrodev.blogspot.com, http://agrodev.multiply.com dan situs direktori bisnis online http://indonetwork.com

Selain online promotion, YDA Solo juga mencoba menggandengkan WORTA (dan juga Agrodev – Rural Agro Enterprises Development) dengan pihak-pihak lain seperti komunitas entrepreneur Tangan Di Atas di Jawa Tengah yang biasa disebut TDA Joglo (
http://www.tdajoglo.com). Harapannya, para entrepreneur bisa menjadi salah satu mitra penjualan produk-produk petani, khususnya WORTA.

Jauh sebelum itu, WORTA juga mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Karanganyar, FEDEP (Forum for Economic Development and Employment Procurement) Karanganyar, serta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Tengah. Bahkan, WORTA juga menarik minat perkumpulan ekspatriat (orang asing) yang tinggal di eks Karesidenan Surakarta untuk membantu dalam bentuk nasihat-nasihat pengembangan bisnis.

Memulai dengan Tidak Mudah

Kisah WORTA, diawali sekitar akhir tahun 2004. Beberapa kelompok tani di Kelurahan Blumbang mendapat tawaran dari YDA Solo, jika ingin terlibat dalam access market project. Kelurahan ini sendiri sebetulnya merupakan salah satu wilayah kerja YDA Solo sejak tahun 2000, saat bergiat dalam advokasi Pertanian Berkelanjutan.

Atas pemahaman petani tentang proyek ini, akhirnya mereka bersepakat membuat suatu Kelompok Kerja (Pokja) yang terdiri dari beberapa petani perwakilan dari beberapa kelompok tani yang ada di Kelurahan Blumbang. Masing-masing petani yang terlibat dalam Pokja ini juga akan bertugas mendistribusikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya pada kelompok tani masing-masing.

Sebelum Pokja KTB terbentuk, beberapa petani di wilayah ini terlibat dalam penelitian partisipatif komoditas unggulan versi petani. Komoditas unggulan dilihat dari sisi geografis, biologis tanaman, pengalaman budidaya petani dan pendapat pasar/konsumen. Beberapa petani dari Kelurahan Blumbang tersebut menjadi bagian dari satu tim besar, bersama beberapa petani dari Wonogiri, Klaten, Sragen, Boyolali, Sukoharjo dan Grobogan. Penelitian partisipatif ini dibantu sepenuhnya oleh YDA Solo.

Penelitian yang membutuhkan waktu yang tidak pendek ini, akhirnya mengeluarkan beberapa rekomendasi pengembangan. Untuk Kelurahan Blumbang Tawangmangu, komoditas unggulan yang direkomendasikan dalam pengembangan akses pasar adalah bawang putih dan wortel.

Terkait dengan wortel Tawangmangu, ada hal khusus yang juga menjadi pertimbangan. Berdasarkan pengalaman petani, wortel sering dihargai secara tidak sesuai oleh pasar/konsumen. Harganya berkisar antara Rp.300 hingga Rp.2.000 per kilogram, namun kebanyakan di bawah Rp.1.000. Padahal menurut petani, setidaknya harga per kilogram wortel untuk sekadar impas, sekitar Rp.1.200. Di sini jelas petani sangat merugi, dan mereka juga dalam posisi mensubsidi konsumen.

Selain itu, wortel Tawangmangu juga sudah mendapat tempat yang cukup baik di kalangan konsumennya. Wortel Tawangmangu dikenal berwarna orange (semakin orange warna wortel dipercaya mengandung beta karoten yang lebih tinggi), bagian kayunya lebih sedikit yang mengakibatkan dagingnya lebih banyak.

Atas ketenaran wortel Tawangmangu tersebut, rawan dipakai namanya oleh daerah penghasil wortel lainnya. Beberapa daerah lain penghasil wortel di luar Kecamatan Tawangmangu, menggunakan nama wortel Tawangmangu untuk meningkatkan image pasar atas komoditas mereka.

Hasil penelitian di atas kemudian disampaikan kepada kelompok-kelompok tani Blumbang. Pada pertemuan tersebut juga ditawarkan gagasan pengembangan akses pasar petani. Akhirnya, atas pemahaman bersama, mereka bersepakat untuk terlibat dalam pelaksanaan gagasan tersebut dan sekaligus melahirkan Pokja KTB.

Selama 3 tahun berjalan ini, kinerja dari sisi besaran nominal, memang tidak dapat dikatakan melesat. Dari sisi keuntungan, masih jauh dari memuaskan. Namun jika dilihat dari sisi omset kelompok, putarannya sudah sekitar belasan juta rupiah.

Kondisi ini sesungguhnya sangat bergantung dari perubahan cara berpikir petani serta pendekatan yang dilakukan staf dari YDA Solo sendiri. Petani umumnya masih menggunakan cara pikir produksi/budidaya, meski sebagian kecil sudah menggunakan cara pikir penjualan. Petani masih perlu waktu untuk mengubah cara pikirnya ke cara pikir pemasaran.

Di pihak lain, staf YDA Solo sendiri juga perlu mengubah pendekatan advokasi yang selalu digunakan selama ini. Jika sebelumnya menggunakan pendekatan edukasi advokasi, perlu disesuaikan menjadi edukasi bisnis berwawasan advokasi. Dan ini bukan perkara yang sesederhana membalik telapak tangan.

Meski kinerja dari sisi besaran nominal tidak spektakuler, bukan berarti tanpa kemajuan sama sekali. Beberapa anggota kelompok, sesuai perkembangan proses, sedikit demi sedikit mulai menyadari dan memahami bagaimana pemasaran itu seharusnya berlaku. Layaknya lokomotif yang tertatih-tatih mencoba menarik gerbong-gerbong lain (anggota petani lainnya) yang masih focus pada budidaya serta penjualan.

Mulai beranjaknya cara berpikir dari budidaya/penjualan ke pemasaran, memerlukan waktu sekitar dua tahun. Pemasaran, mulai serius digarap 15 bulan lalu, setelah YDA Solo mencoba memancing Pokja KTB dengan cara mengemas minuman kesehatan instant wortel dalam kemasan kotak plastic. Kemasan ini diberi label sederhana yang dicetak dengan printer komputer. Produk ini diperkenalkan pertama kali (product launching) dalam acara pertemuan rutin tahunan CRS Indonesia/Pertanian dan mitranya (program consolidation meeting) tahun 2006 lalu. Dan, tanggapan peserta maupun pembeli cukup positif untuk membantu Pokja KTB melakukan pengembangan-pengembangan.

Usaha atau Sosial?

Sebagai langkah awal usahanya, Pokja KTB membuat rencana usaha kelompok. Rencana usaha ini dibuat secara komprehensif namun dengan tetap memberikan peluang atas pengembangan ide-ide baru. Selain itu juga memperhatikan aspek-aspek bisnis dan juga menggunakan beberapa perhitungan bisnis.

Dalam prakteknya, Pokja KTB melihat bahwa rencana usaha yang telah dibangun bersama ini, kadang kala kurang dijadikan pedoman dalam melangkah atau dalam melakukan beberapa kegiatan. Kondisi ini merupakan kondisi peralihan dari budaya kelompok/organisasi sosial menjadi budaya organisasi/kelompok bisnis. Kepatuhan pada rencana usaha memang masih perlu terus diasah.

Misal, dalam rencana usaha sudah ditentukan berapa besar target penjualan bulanan. Dalam prakteknya, pengecekan persediaan WORTA pada beberapa tempat penjualan kurang disiplin dilakukan dan nampaknya juga karena pengelolaan waktu masih dalam taraf mencari bentuk. Padahal penugasan pengecekan sudah diberikan pada beberapa anggota.

Perhitungan biaya-biaya yang terkait pengecekan sebetulnya juga sudah dilakukan. Artinya semua biaya tidak ditanggung oleh petugas. Saat dilakukan refleksi, ternyata petugas merasa tidak nyaman jika menerima pengganti biaya yang dikeluarkannya saat penjualan WORTA.

Itu baru sebagian pengalaman kasus, yang jika dicermati adalah bentuk dari masih kurangnya pemahaman atas peran-peran yang berbeda. Sebagian petani masih bingung yang mana peran sosial dan mana yang peran bisnis. Kebingungan ini juga ditunjang oleh rasa malu jika mengajukan pertanyaan tentang insentif bisnis, takut disangka materialis atau dianggap tidak berjiwa sosial.

Kasus yang lain adalah harga beli wortel di tingkat anggota. Beberapa waktu lalu, harga beli wortel ke anggota sudah ditentukan Rp.2.000 per kilogram. Harga ini jauh di atas harga pasar. Tujuannya jelas agar biaya budidaya yang sesungguhnya dikeluarkan petani bisa terpenuhi, ada ongkos angkut wortel ke kelompok dan anggota menerima sedikit keuntungan. Ini merupakan keputusan bersama.

Prakteknya, beberapa periode produksi WORTA berjalan, ternyata kelompok belum menerapkan keputusan bersama tersebut. Wortel masih dibeli dengan harga pasar, yang jelas jauh di bawah harga tersebut. Dan anehnya lagi, anggota dan pengurus kelompok tidak berkeberatan atas apa yang terjadi.

Setelah direfleksikan bersama, muncul pernyataan semacam “Ndak enak, kelompok khan masih harus berjuang!” Di sini nampak bahwa semangat sosial tidak ditempatkan secara tepat. Akhirnya, setelah dilakukan refleksi, dalam beberapa bulan terakhir produksi WORTA sudah menggunakan harga yang telah disepakati sebelumnya.

Dari sisi usaha, petani anggota menerima manfaat atas wortel yang dijualnya kepada Pokja KTB, dengan harga khusus sebagaimana di atas. Petani anggota juga menerima insentif jika mereka terlibat dalam proses produksi WORTA, dan penjualannya. Pokja KTB sendiri menerima insentif atas posisinya sebagai pengumpul produk WORTA. Insentif ini dikumpulkan dan dapat digunakan untuk pengembangan organisasi, serta juga dapat dibagikan sesuai keputusan kelompok.

Sosialnya dimana? Pertama, pengurus kelompok tidak mendapatkan gaji. Kedua, beberapa kegiatan yang bersifat pengembangan diri maupun organisasi dilakukan atas kerelawanan. Ketiga, pertemuan kelompok dilakukan secara rutin, sederhana dan kompak. Dan keempat, mendorong perempuan untuk terlibat, membantu kelompok lain dari luar desa dalam SL PHT, membantu warga desa yang belum bekerja serta menyumbang dalam pembangunan desa.

Memastikan Perdagangan Berkeadilan

Berdasarkan pengalaman Pokja KTB Tawangmangu, setidaknya dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan petani, para petani harus melakukan beberapa hal secara menyatu. Pertama, membuat usaha kelompok, bukan usaha perorangan. Usaha yang dimiliki, dikelola dan dinikmati petani. Melalui usaha kelompok, beberapa hal yang terasa kurang di tingkat petani bisa dikuatkan. Misal modal kecil, pengetahuan dan ketrampilan kurang, informasi kurang, waktu serta tenaga terbatas dan sebagainya.

Kedua, menghitung biaya-biaya yang betul-betul dikeluarkan selama proses budidaya hingga pemasaran. Dengan cara ini, petani dapat menentukan harga jual minimal yang layak mereka terima agar tidak selalu merugi. Selain itu, atas perhitungan yang ada, maka petani dapat memperteguh diri saat melakukan tawar menawar serta dapat digunakan untuk pendidikan konsumen/pembeli produk mereka. Jangan biarkan petani mensubsidi orang lain.

Ketiga, memperagam rantai distribusi dan meningkatkan efisiensi. Rantai distribusi diperagam agar petani tidak tergantung hanya pada satu dua jalur distribusi saja. Dengan cara ini petani bisa memilih alternative yang paling menguntungkan bagi usaha mereka. Selain itu, efisiensi juga perlu dijaga agar semangat usaha tetap selalu terjaga. Yang rajin dan yang malas, masing-masing bisa tetap dihargai sepantasnya, sesuai sumbangan mereka pada peningkatan usaha kelompok.

Keempat, berwawasan lingkungan. Ini tidak hanya tentang lingkungan hidup saja, tidak hanya tentang organic dan tidak hanya tentang transgenic. Berwawasan lingkungan dalam arti juga mengutamakan sumberdaya local yang dikelola secara berkelanjutan, memperhatikan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa lainnya, membuka lapangan kerja bagi warga desa, tidak menindas warga desa lainnya serta membuat arah bersama ke masa depan yang lebih baik. Misal, upah bagi siapa saja yang terlibat dalam proses produksi juga tetap diperhitungkan secara layak. Kelompok usaha juga dibangun atas dasar memperkuat kerekatan sosial di masyarakat, dan bukannya menghasilkan oknum-oknum penindas baru.

Kelima, melindungi dan bermitra dengan konsumen. Meskipun ini jual beli atau usaha, tidak berarti kelompok usaha tani menghalalkan penindasan atau penipuan kepada konsumen. Tata karma usaha tetap diusung dan dijaga. Konsumen tetap diberikan yang terbaik, penuh kejujuran dan tanpa permainan yang merusak tatanan kehidupan. Misal tentang produk, kemasan, timbangan, kandungan dan sebagainya.

Akhirnya, pengalaman Pokja KTB Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah ini hanyalah satu dari banyak pengalaman kelompok-kelompok tani dalam memperjuangkan peningkatan harkat dan martabat petani. Sekali lagi, peningkatan harkat dan martabat petani, ke sanalah seharusnya petani dan juga LSM-LSM pro petani menuju.


Kartasura, 20071204

Muhammad Riza

Ditulis atas undangan Majalah SALAM-LEISA VECO Indonesia (http://salam.leisa.info/), 2007, untuk tema Fair Trade


Powered by ScribeFire.

Menata Hati Merajut Tani



“Malam mbak bgmana kabarnya disolo. Oya mengenai mete harga 60.000/kg di sumbawa,” demikian pesan teks yang masuk ke ponselnya. Ditekannya lagi satu tombol ponsel untuk meneruskan membaca lanjutan pesan teks.

“Kalau lewat bis tdk ada yg kesolo. Kalau lewat expedisi trek saya belum tahu,” lanjut pesan tersebut. Dibacanya sekali lagi pesan itu dengan cermat.

“Oh ternyata Pak Wira belum pernah kirim produknya ke wilayah Solo,” ujar Datu dalam hati.

Lamunan Datu secepat kilat menangkap ulang ingatan pertemuan pertamanya dengan Wira, bapak dengan 3 anak yang memilih menjadi petani sebagai jalan hidupnya. Datu bertemu dengan Pak Wira saat mereka berdua dikirim untuk belajar tentang Pertanian Berkelanjutan di Kota Mataram, Pulau Lombok. Datu berasal dari Ceper, Klaten, sedangkan Pak Wira dari Labuan Badas, Sumbawa Besar. Datu baru berkecimpung dalam kegiatan kelompok tani di desanya, sedangkan Pak Wira sudah lebih dari separuh hidupnya bergiat di kelompok tani.

“Pertanian berkelanjutan itu adalah serba ada, bukan serba cukup dan bukan pula serba banyak,” demikian komentar Pak Wira yang paling diingat Datu, saat istirahat, setelah semua peserta pelatihan menerima pelajaran tentang dasar-dasar Pertanian Berkelanjutan.

“Lho, bedanya apa Pak?” tanya Datu kebingungan.

“Serba ada itu apa-apa ada meski kadang tidak cukup,” terang Pak Wira sambil tersenyum.

“Serba cukup itu semua ada dan saat dibutuhkan pasti tersedia,” lanjutnya pula.

“Kalau serba banyak itu berarti diperlukan atau tidak, semua banyak ya Pak?” ujar Datu hampir berteriak.

“Ha ha ha … begitulah,” tawa Pak Wira mendengar teriakan Datu. Peserta pelatihan lainnya, yang juga sedang beristirahat di ruang makan, semuanya menoleh. Pak Wira segera menangkupkan kedua telapak tangannya sambil berkata, ”Maaf-maaf teman-teman. Ini baru heboh diskusi dengan Mbak Datu,” ujarnya kencang sambil tersenyum. Dari sisi kiri, muncul Awan yang aktivis LSM, yang akhirnya duduk bergabung dengan mereka.

“Mbak Datu, coba diingat-ingat, kalau di desanya Mbak, gimana ciri petani yang bisa menyekolahkan anaknya hingga tinggi?” pancing Pak Wira.

Segera Datu berkerut kening mencoba mengingat-ingat kondisi petani di kampung halamannya. Awan yang duduk disampingnya juga ikut berkerut kening sambil memegang pelipisnya.

Sambil menunggu jawaban Datu, Pak Wira meneguk air kopi dari gelasnya. Dua hembusan asap rokok, raut wajah Datu mulai berbinar.

“Saya tahu jawabannya Pak. Ciri petani yang bisa menyekolahkan anaknya hingga tinggi, ya itu tadi serba ada,” kata Datu dengan tersenyum.

“Nah betul itu,” tanggap Pak Wira.

“Loh, maksudnya apa sih Mbak?” tanya Awan dengan raut penuh kebingungan.

“Ha ha ha. Mas Awan ketinggalan berita. Maksudnya begini Mas,” jawab Pak Wira memulai penjelasannya.

“Ciri petani yang bisa menyekolahkan anaknya hingga tinggi, ya serba ada itu. Ada yang bisa dipakai untuk ongkos harian anaknya sekolah, ada yang bisa untuk bayar SPP, ada yang bisa dipakai untuk bayar uang gedung, dan tidak lupa juga ada yang bisa dipakai untuk pengeluaran dapur harian, plus kebutuhan sosial lainnya,” jelasnya lagi.

“Wah kalau itu sih sama dengan petani kaya dong pak?” sergah Awan dengan bersemangat.

“Ndak Mas,” tukas Datu segera. “Bukan petani kaya, sederhana saja kok.”

“Untuk membayar uang gedung atau uang pangkal masuk sekolah, petani ini menebang 1 pohon jati yang ditanamnya sejak anaknya lahir. Kemudian menjualnya ke industri kayu,” jelas Datu.

“Untuk SPP, karena ini setahun bisa 2 atau 3 kali, maka dengan cara menjual ternak besar seperti kambing atau sapi,” sela Pak Wira.

“Betul Pak,” Datu menguatkan.

“Nah kalau untuk ongkos harian, ya diambilkan dari sumber harian seperti jual telur segar, telur asin, kacang panjang, kalau punya kolam ya bisa menjual ikan kiloan, atau lainnya,” tambah Pak Wira.

“Wah sama Pak!” pekik Datu kegirangan.

“Kalau mau nyumbang resepsi pernikahan atau khitanan, darimana Pak?” tanya Awan penasaran.

“Nah kalau tak terduga seperti itu, dipakai cara menjual ternak ayam atau itik satu atau dua ekor,” jawab Pak Wira.

“Untuk keperluan dapur dan kesehatan, bisa dilakukan dengan cara memelihara tanaman yang bisa dipetik untuk dapur sendiri atau untuk obat dan ini tidak untuk dijual. Misalnya, tanam sebatang atau du batang cabe, serei, pandan, seledri, bawang, tomat, dan sebagainya. Bisa di pekarangan rumah atau dalam pot, termasuk pot gantung,” tambah Datu membantu.

“Oh gitu ternyata!” sahut Awan takjub. Sementara Pak Wira tersenyum sambil menghisap rokok kreteknya.

“Wah jadi kita harus melakukan banyak hal ya, kalau mau sukses,” tegas Awan. Pak Wira dan Datu serentak mengangguk.

“Harus memelihara ternak besar, ternak unggas, ternak ikan, tanaman umur panjang, tanaman semusim, tanaman obat, tanaman dapur,” jelas Datu pula.

“Repot ya?” tanya Awan.

“Tinggal kita mau repot di depan atau di belakang Mas?” tanya balik Datu.

“Nah kalau masih beranggapan bahwa itu repot, itu artinya serba ada tanpa repot alias mau enak tak mau kerja,” Pak Wira menguatkan.

“Mbak Datu dan Mas Awan, pertanian berkelanjutan, selain tadi itu harus serba ada, juga harus serba lanjut,” tambah Pak Wira.

“Serba lanjut?” serentak Datu dan Awan berseru.

“Iya. Serba lanjut itu artinya mengelolanya tidak hangat-hangat tai ayam atau pas ada LSM yang masuk saja!” lanjut Pak Wira lagi.

“Ya ya ya betul sekali itu pak,” senyum Awan yang merasa aktif di LSM.

“Serba lanjut itu ya artinya terus menerus dipelihara, dilakukan, dibangun. Bukan justru dibunuh, dijadikan kerdil atau dikebiri. Harus punya angan-angan 10 atau 20 tahun lagi masih bisa manfaat, bisa terpakai,” terang Pak Wira lagi.

“He he he ini yang sulit Pak!” jawab Datu dengan tersenyum simpul.

“Ya ini sulit kalau kita ndak punya teman yang juga menjalankan hal semacam. Makanya ada anjuran agar kita selalu berusaha untuk berkumpul dengan teman-teman yang sejalan sepemikiran, bukan sebaliknya justru berkumpul dengan teman-teman yang tidak sejalan,” nasihat Pak Wira lagi.

“Betul juga Pak. Kalau kita berkumpul dengan yang berseberangan maka bisa-bisa semangat kita yang berapi-api atau pikiran-pikiran kita yang cemerlang, kandas dijalan,” Awan menguatkan.

“Trus selain serba ada dan serba lanjut, apalagi Pak?” desak Datu sambil melirik arloji kecilnya.

“Selain itu masih ada dua lagi, yakni serba dukung dan serba asih. Serba dukung itu …. uhuk … uhuk … bentar ya,” Pak Wira berhenti sejenak meneguk minuman kopinya yang tinggal separuh.

“Jangan tergesa-gesa Pak,” Awan memperingatkan. “Kita di sini masih 3 hari kok!”

“Ndak, papa kok. Gini. Serba dukung itu maksudnya antara satu sama lain yang kita pelihara harus saling mendukung bukan sebaliknya, menindas. Misal, sampah dapur, daun-daunan, sisa panen dan kotoran ternak harus digunakan untuk mendukung sebesar mungkin yang kita pelihara. Apakah itu tanaman, ternak atau lingkungan. Ya semua sampah dan sisa itu dibikin pupuk dulu, kemudian dikembalikan lagi ke lahan atau ternak kita,” lanjut Pak Wira lagi.

“Memilih tanaman juga begitu. Tidak bisa kita pelihara tanaman keras rakus air, misal Jati atau Sawit, di wilayah yang rawan air khan? Atau mencoba beternak sapi tanpa memikirkan dukungan ketersediaan hijauan makanan ternaknya khan?” cerocos Pak Wira lagi.

“Plok plok plok wah asyik sekali ilmunya Pak Wira ini!” ujar Datu sambil bertepuk tangan kegirangan. Ini semua jauh dari pemikirannya selama ini. Magic momenti beraksi.

“Betul, Pak Wira ini banyak ilmunya,” Awan menguatkan.

“Ah kalian ini malah mengejek ya?” ujar Pak Wira sedikit merengut.

“He he he maaf Pak, bukan mengejek. Beneran nih. Saya banyak yang belum tahu, Mas Awan kayak begitu juga,” jawab Datu sambil melirik Awan yang juga mengangguk-anggukkan kepalanya hingga hampir lepas.

“Ya sudah, nah yang terakhir adalah serba asih. Asih, mengasihi. Ini bagian tersulit karena berhubungan dengan rasa. Kalau tiga serba yang lain adalah olah pikir, yang ini olah rasa. Bangun perasaan, kalbu, bahwa lingkungan dan apa yang kita pelihara itu adalah bagian, betul-betul bagian dari kehidupan kita. Ibaratkan kalau jari kelingking kita sakit maka seluruh tubuh kita ikut sakit atau tak nyaman. Jangan jadikan apa yang kita pelihara semacam budak yang bisa dipaksa seenaknya, tanpa akibat apapun,” lanjut Pak Wira lagi sambil melirik kedua teman bicaranya yang masih muda usia.

“Jika serba asih diterapkan, maka itu layaknya cermin. Kalau kita mengasihi, maka kita juga akan dikasihi. Kalau kita mudah memberi maka sebaliknya juga akan mudah diberi. Namun catatannya, ini yang paling sulit, semakin kita tidak berharap memperoleh sesuatu dari apa yang kita lakukan, maka semakin joss. Ini namanya ikhlas. Kita membersihkan kolam ikan karena kasihan ikannya jika kolam dan airnya kotor, lha kita saja kalau kamar atau rumah kita kotor juga tidak betah tinggal di dalamnya khan?” jelas Pak Wira sambil menghisap rokok kreteknya lagi.

“Teng teng teng!” terdengar lonceng tanda panggilan dari panitia bahwa pelatihan akan dilanjutkan. Pak Wira pun hendak angkat badan.

“Bentar Pak. Jadi Pertanian Berkelanjutan itu harus serba ada, serba lanjut, serba dukung dan serba asih ya Pak?” Datu bertanya menegaskan.

“Iya. Empat serba. Ada, lanjut, dukung, asih. A, el, de, a atau ALDA,” tambah Pak Wira.

“Lho, kok kayak nama artis yang meninggal bunuh diri itu Pak?” tanya Awan.

“Lha iya khan,” jawab Pak Wira lagi, “Pertanian Berkelanjutan akan cuma menjadi kegiatan bunuh diri, kalau tidak menerapkan serba alda tadi.” Pak Wira pun terkekeh trus berdiri dan meninggalkan Datu dan Awan yang mencoba memahami maknanya.

Sedetik kemudian, “Wah Pak Wira!” teriak keduanya lari menyusul ke ruang pelatihan.


Catatan:
Magic moment = Saat-saat ajaib; Biasanya kemunculannya dapat membangunkan kesadaran terdalam yang mampu menggerakkan diri seseorang.

Karangasem, 20071004

Muhammad Riza

Ditulis atas permintaan Buletin Petani Advokasi, 2007, untuk rubrik Dangau


Powered by ScribeFire.