Catatan Acak Proses Belajar

WORTA, Memastikan Perdagangan Berkeadilan

WORTA_All

Tambar, seakan tak menyangka saat dilakukan refleksi
tentang pemasaran salah satu produk kelompoknya. “Kalau dihitung, ternyata saya bisa masuk seratus lima puluh ribuan sebulan untuk penjualan WORTA,” ujarnya pada Bayu Cahyono, access market project team leader YDA Solo, Rabu, 21 Nopember 2007 lalu.

Padahal, “Itu dilakukan dengan cara sambilan saja. Kalau ada teman yang butuh atau kebetulan main kemana sambil bawa WORTA, dijual atau dititipkan dulu,” lanjutnya lagi. Itu baru hasil dari seorang Tambar, Ketua Pokja KTB, petani yang juga seorang pendidik. Belum lagi hasil penjualan beberapa petani anggota lainnya dan juga oleh YDA Solo.

Pokja KTB adalah Kelompok Kerja Kelompok-kelompok Tani Kelurahan Blumbang Tawangmangu di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Sejak beberapa tahun terakhir, kelompok yang berada di lereng tertinggi Gunung Lawu ini sedang bergiat dalam pengembangan akses petani ke pasar, dengan dukungan Yayasan Duta Awam (YDA Solo), CRS Indonesia dan CORDAID Belanda.

Nilai seratus ribuan, bagi sebagian petani mungkin suatu nilai yang kecil. Namun, dalam hubungannya dengan WORTA, nilai itu suatu bentuk keyakinan bahwa perdagangan yang memihak petani (fair trade; perdagangan berkeadilan) sangat bisa dilakukan. Tentunya terpulang pada kesungguhan dan ketahanan petani, kelompok tani dan juga LSM-LSM pendukung petani.

Mengusung Merek

WORTA sendiri sebetulnya adalah merek yang diusung untuk produk Pokja KTB yang berbentuk olahan wortel varietas lokal Tawangmangu. Ingat WORTA ingat Wortel Tawangmangu. Ingat WORTA ingat Pokja KTB. Demikianlah gagasan awal munculnya merek tersebut.Saat ini Pokja KTB memiliki beberapa bidang usaha, seperti bawang putih, wortel, sarana produksi pertanian, perkoperasian dan pengembangan organisasi. Merek WORTA berada di bawah bidang usaha wortel, dengan produk andalannya berupa minuman kesehatan instant wortel.

Penjualan dan pemasaran WORTA, sebetulnya baru beranjak kurang lebih 15 bulan berjalan. Namun keberadaannya sudah mulai dikenal seantero negeri. Permintaan WORTA sudah dari beberapa daerah, seperti Jabodetabek, Pontianak, Banjarmasin, Jawa Timur dan Makassar. Belum lagi permintaan dari wilayah pemasaran utama yakni eks Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta. Sayang beberapa permintaan belum dapat dipenuhi dengan cukup baik karena factor mahalnya biaya transportasi plus organisasi usaha kelompok masih dalam tahapan belajar.

Luasnya permintaan WORTA, memang sangat ditunjang oleh pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam promosi. YDA Solo membantu mempromosikan WORTA melalui online promotion (promosi via internet) dengan membuat beberapa web blog tentang WORTA, serta memanfaatkan layanan-layanan internet gratis. Misalnya http://agrodev.blogspot.com, http://agrodev.multiply.com dan situs direktori bisnis online http://indonetwork.com

Selain online promotion, YDA Solo juga mencoba menggandengkan WORTA (dan juga Agrodev – Rural Agro Enterprises Development) dengan pihak-pihak lain seperti komunitas entrepreneur Tangan Di Atas di Jawa Tengah yang biasa disebut TDA Joglo (
http://www.tdajoglo.com). Harapannya, para entrepreneur bisa menjadi salah satu mitra penjualan produk-produk petani, khususnya WORTA.

Jauh sebelum itu, WORTA juga mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Karanganyar, FEDEP (Forum for Economic Development and Employment Procurement) Karanganyar, serta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Tengah. Bahkan, WORTA juga menarik minat perkumpulan ekspatriat (orang asing) yang tinggal di eks Karesidenan Surakarta untuk membantu dalam bentuk nasihat-nasihat pengembangan bisnis.

Memulai dengan Tidak Mudah

Kisah WORTA, diawali sekitar akhir tahun 2004. Beberapa kelompok tani di Kelurahan Blumbang mendapat tawaran dari YDA Solo, jika ingin terlibat dalam access market project. Kelurahan ini sendiri sebetulnya merupakan salah satu wilayah kerja YDA Solo sejak tahun 2000, saat bergiat dalam advokasi Pertanian Berkelanjutan.

Atas pemahaman petani tentang proyek ini, akhirnya mereka bersepakat membuat suatu Kelompok Kerja (Pokja) yang terdiri dari beberapa petani perwakilan dari beberapa kelompok tani yang ada di Kelurahan Blumbang. Masing-masing petani yang terlibat dalam Pokja ini juga akan bertugas mendistribusikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya pada kelompok tani masing-masing.

Sebelum Pokja KTB terbentuk, beberapa petani di wilayah ini terlibat dalam penelitian partisipatif komoditas unggulan versi petani. Komoditas unggulan dilihat dari sisi geografis, biologis tanaman, pengalaman budidaya petani dan pendapat pasar/konsumen. Beberapa petani dari Kelurahan Blumbang tersebut menjadi bagian dari satu tim besar, bersama beberapa petani dari Wonogiri, Klaten, Sragen, Boyolali, Sukoharjo dan Grobogan. Penelitian partisipatif ini dibantu sepenuhnya oleh YDA Solo.

Penelitian yang membutuhkan waktu yang tidak pendek ini, akhirnya mengeluarkan beberapa rekomendasi pengembangan. Untuk Kelurahan Blumbang Tawangmangu, komoditas unggulan yang direkomendasikan dalam pengembangan akses pasar adalah bawang putih dan wortel.

Terkait dengan wortel Tawangmangu, ada hal khusus yang juga menjadi pertimbangan. Berdasarkan pengalaman petani, wortel sering dihargai secara tidak sesuai oleh pasar/konsumen. Harganya berkisar antara Rp.300 hingga Rp.2.000 per kilogram, namun kebanyakan di bawah Rp.1.000. Padahal menurut petani, setidaknya harga per kilogram wortel untuk sekadar impas, sekitar Rp.1.200. Di sini jelas petani sangat merugi, dan mereka juga dalam posisi mensubsidi konsumen.

Selain itu, wortel Tawangmangu juga sudah mendapat tempat yang cukup baik di kalangan konsumennya. Wortel Tawangmangu dikenal berwarna orange (semakin orange warna wortel dipercaya mengandung beta karoten yang lebih tinggi), bagian kayunya lebih sedikit yang mengakibatkan dagingnya lebih banyak.

Atas ketenaran wortel Tawangmangu tersebut, rawan dipakai namanya oleh daerah penghasil wortel lainnya. Beberapa daerah lain penghasil wortel di luar Kecamatan Tawangmangu, menggunakan nama wortel Tawangmangu untuk meningkatkan image pasar atas komoditas mereka.

Hasil penelitian di atas kemudian disampaikan kepada kelompok-kelompok tani Blumbang. Pada pertemuan tersebut juga ditawarkan gagasan pengembangan akses pasar petani. Akhirnya, atas pemahaman bersama, mereka bersepakat untuk terlibat dalam pelaksanaan gagasan tersebut dan sekaligus melahirkan Pokja KTB.

Selama 3 tahun berjalan ini, kinerja dari sisi besaran nominal, memang tidak dapat dikatakan melesat. Dari sisi keuntungan, masih jauh dari memuaskan. Namun jika dilihat dari sisi omset kelompok, putarannya sudah sekitar belasan juta rupiah.

Kondisi ini sesungguhnya sangat bergantung dari perubahan cara berpikir petani serta pendekatan yang dilakukan staf dari YDA Solo sendiri. Petani umumnya masih menggunakan cara pikir produksi/budidaya, meski sebagian kecil sudah menggunakan cara pikir penjualan. Petani masih perlu waktu untuk mengubah cara pikirnya ke cara pikir pemasaran.

Di pihak lain, staf YDA Solo sendiri juga perlu mengubah pendekatan advokasi yang selalu digunakan selama ini. Jika sebelumnya menggunakan pendekatan edukasi advokasi, perlu disesuaikan menjadi edukasi bisnis berwawasan advokasi. Dan ini bukan perkara yang sesederhana membalik telapak tangan.

Meski kinerja dari sisi besaran nominal tidak spektakuler, bukan berarti tanpa kemajuan sama sekali. Beberapa anggota kelompok, sesuai perkembangan proses, sedikit demi sedikit mulai menyadari dan memahami bagaimana pemasaran itu seharusnya berlaku. Layaknya lokomotif yang tertatih-tatih mencoba menarik gerbong-gerbong lain (anggota petani lainnya) yang masih focus pada budidaya serta penjualan.

Mulai beranjaknya cara berpikir dari budidaya/penjualan ke pemasaran, memerlukan waktu sekitar dua tahun. Pemasaran, mulai serius digarap 15 bulan lalu, setelah YDA Solo mencoba memancing Pokja KTB dengan cara mengemas minuman kesehatan instant wortel dalam kemasan kotak plastic. Kemasan ini diberi label sederhana yang dicetak dengan printer komputer. Produk ini diperkenalkan pertama kali (product launching) dalam acara pertemuan rutin tahunan CRS Indonesia/Pertanian dan mitranya (program consolidation meeting) tahun 2006 lalu. Dan, tanggapan peserta maupun pembeli cukup positif untuk membantu Pokja KTB melakukan pengembangan-pengembangan.

Usaha atau Sosial?

Sebagai langkah awal usahanya, Pokja KTB membuat rencana usaha kelompok. Rencana usaha ini dibuat secara komprehensif namun dengan tetap memberikan peluang atas pengembangan ide-ide baru. Selain itu juga memperhatikan aspek-aspek bisnis dan juga menggunakan beberapa perhitungan bisnis.

Dalam prakteknya, Pokja KTB melihat bahwa rencana usaha yang telah dibangun bersama ini, kadang kala kurang dijadikan pedoman dalam melangkah atau dalam melakukan beberapa kegiatan. Kondisi ini merupakan kondisi peralihan dari budaya kelompok/organisasi sosial menjadi budaya organisasi/kelompok bisnis. Kepatuhan pada rencana usaha memang masih perlu terus diasah.

Misal, dalam rencana usaha sudah ditentukan berapa besar target penjualan bulanan. Dalam prakteknya, pengecekan persediaan WORTA pada beberapa tempat penjualan kurang disiplin dilakukan dan nampaknya juga karena pengelolaan waktu masih dalam taraf mencari bentuk. Padahal penugasan pengecekan sudah diberikan pada beberapa anggota.

Perhitungan biaya-biaya yang terkait pengecekan sebetulnya juga sudah dilakukan. Artinya semua biaya tidak ditanggung oleh petugas. Saat dilakukan refleksi, ternyata petugas merasa tidak nyaman jika menerima pengganti biaya yang dikeluarkannya saat penjualan WORTA.

Itu baru sebagian pengalaman kasus, yang jika dicermati adalah bentuk dari masih kurangnya pemahaman atas peran-peran yang berbeda. Sebagian petani masih bingung yang mana peran sosial dan mana yang peran bisnis. Kebingungan ini juga ditunjang oleh rasa malu jika mengajukan pertanyaan tentang insentif bisnis, takut disangka materialis atau dianggap tidak berjiwa sosial.

Kasus yang lain adalah harga beli wortel di tingkat anggota. Beberapa waktu lalu, harga beli wortel ke anggota sudah ditentukan Rp.2.000 per kilogram. Harga ini jauh di atas harga pasar. Tujuannya jelas agar biaya budidaya yang sesungguhnya dikeluarkan petani bisa terpenuhi, ada ongkos angkut wortel ke kelompok dan anggota menerima sedikit keuntungan. Ini merupakan keputusan bersama.

Prakteknya, beberapa periode produksi WORTA berjalan, ternyata kelompok belum menerapkan keputusan bersama tersebut. Wortel masih dibeli dengan harga pasar, yang jelas jauh di bawah harga tersebut. Dan anehnya lagi, anggota dan pengurus kelompok tidak berkeberatan atas apa yang terjadi.

Setelah direfleksikan bersama, muncul pernyataan semacam “Ndak enak, kelompok khan masih harus berjuang!” Di sini nampak bahwa semangat sosial tidak ditempatkan secara tepat. Akhirnya, setelah dilakukan refleksi, dalam beberapa bulan terakhir produksi WORTA sudah menggunakan harga yang telah disepakati sebelumnya.

Dari sisi usaha, petani anggota menerima manfaat atas wortel yang dijualnya kepada Pokja KTB, dengan harga khusus sebagaimana di atas. Petani anggota juga menerima insentif jika mereka terlibat dalam proses produksi WORTA, dan penjualannya. Pokja KTB sendiri menerima insentif atas posisinya sebagai pengumpul produk WORTA. Insentif ini dikumpulkan dan dapat digunakan untuk pengembangan organisasi, serta juga dapat dibagikan sesuai keputusan kelompok.

Sosialnya dimana? Pertama, pengurus kelompok tidak mendapatkan gaji. Kedua, beberapa kegiatan yang bersifat pengembangan diri maupun organisasi dilakukan atas kerelawanan. Ketiga, pertemuan kelompok dilakukan secara rutin, sederhana dan kompak. Dan keempat, mendorong perempuan untuk terlibat, membantu kelompok lain dari luar desa dalam SL PHT, membantu warga desa yang belum bekerja serta menyumbang dalam pembangunan desa.

Memastikan Perdagangan Berkeadilan

Berdasarkan pengalaman Pokja KTB Tawangmangu, setidaknya dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan petani, para petani harus melakukan beberapa hal secara menyatu. Pertama, membuat usaha kelompok, bukan usaha perorangan. Usaha yang dimiliki, dikelola dan dinikmati petani. Melalui usaha kelompok, beberapa hal yang terasa kurang di tingkat petani bisa dikuatkan. Misal modal kecil, pengetahuan dan ketrampilan kurang, informasi kurang, waktu serta tenaga terbatas dan sebagainya.

Kedua, menghitung biaya-biaya yang betul-betul dikeluarkan selama proses budidaya hingga pemasaran. Dengan cara ini, petani dapat menentukan harga jual minimal yang layak mereka terima agar tidak selalu merugi. Selain itu, atas perhitungan yang ada, maka petani dapat memperteguh diri saat melakukan tawar menawar serta dapat digunakan untuk pendidikan konsumen/pembeli produk mereka. Jangan biarkan petani mensubsidi orang lain.

Ketiga, memperagam rantai distribusi dan meningkatkan efisiensi. Rantai distribusi diperagam agar petani tidak tergantung hanya pada satu dua jalur distribusi saja. Dengan cara ini petani bisa memilih alternative yang paling menguntungkan bagi usaha mereka. Selain itu, efisiensi juga perlu dijaga agar semangat usaha tetap selalu terjaga. Yang rajin dan yang malas, masing-masing bisa tetap dihargai sepantasnya, sesuai sumbangan mereka pada peningkatan usaha kelompok.

Keempat, berwawasan lingkungan. Ini tidak hanya tentang lingkungan hidup saja, tidak hanya tentang organic dan tidak hanya tentang transgenic. Berwawasan lingkungan dalam arti juga mengutamakan sumberdaya local yang dikelola secara berkelanjutan, memperhatikan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa lainnya, membuka lapangan kerja bagi warga desa, tidak menindas warga desa lainnya serta membuat arah bersama ke masa depan yang lebih baik. Misal, upah bagi siapa saja yang terlibat dalam proses produksi juga tetap diperhitungkan secara layak. Kelompok usaha juga dibangun atas dasar memperkuat kerekatan sosial di masyarakat, dan bukannya menghasilkan oknum-oknum penindas baru.

Kelima, melindungi dan bermitra dengan konsumen. Meskipun ini jual beli atau usaha, tidak berarti kelompok usaha tani menghalalkan penindasan atau penipuan kepada konsumen. Tata karma usaha tetap diusung dan dijaga. Konsumen tetap diberikan yang terbaik, penuh kejujuran dan tanpa permainan yang merusak tatanan kehidupan. Misal tentang produk, kemasan, timbangan, kandungan dan sebagainya.

Akhirnya, pengalaman Pokja KTB Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah ini hanyalah satu dari banyak pengalaman kelompok-kelompok tani dalam memperjuangkan peningkatan harkat dan martabat petani. Sekali lagi, peningkatan harkat dan martabat petani, ke sanalah seharusnya petani dan juga LSM-LSM pro petani menuju.


Kartasura, 20071204

Muhammad Riza

Ditulis atas undangan Majalah SALAM-LEISA VECO Indonesia (http://salam.leisa.info/), 2007, untuk tema Fair Trade


Powered by ScribeFire.

2 Comments:

WURYANANO said...

Memang mas Riza ini sosok Entrepreneur Handal Tenan...

Sukses terus mas!

Salam,
Wuryanano

Riza Solo said...

Matur nuwun. Doakan mencapai puncak!