Catatan Acak Proses Belajar

Menata Hati Merajut Tani



“Malam mbak bgmana kabarnya disolo. Oya mengenai mete harga 60.000/kg di sumbawa,” demikian pesan teks yang masuk ke ponselnya. Ditekannya lagi satu tombol ponsel untuk meneruskan membaca lanjutan pesan teks.

“Kalau lewat bis tdk ada yg kesolo. Kalau lewat expedisi trek saya belum tahu,” lanjut pesan tersebut. Dibacanya sekali lagi pesan itu dengan cermat.

“Oh ternyata Pak Wira belum pernah kirim produknya ke wilayah Solo,” ujar Datu dalam hati.

Lamunan Datu secepat kilat menangkap ulang ingatan pertemuan pertamanya dengan Wira, bapak dengan 3 anak yang memilih menjadi petani sebagai jalan hidupnya. Datu bertemu dengan Pak Wira saat mereka berdua dikirim untuk belajar tentang Pertanian Berkelanjutan di Kota Mataram, Pulau Lombok. Datu berasal dari Ceper, Klaten, sedangkan Pak Wira dari Labuan Badas, Sumbawa Besar. Datu baru berkecimpung dalam kegiatan kelompok tani di desanya, sedangkan Pak Wira sudah lebih dari separuh hidupnya bergiat di kelompok tani.

“Pertanian berkelanjutan itu adalah serba ada, bukan serba cukup dan bukan pula serba banyak,” demikian komentar Pak Wira yang paling diingat Datu, saat istirahat, setelah semua peserta pelatihan menerima pelajaran tentang dasar-dasar Pertanian Berkelanjutan.

“Lho, bedanya apa Pak?” tanya Datu kebingungan.

“Serba ada itu apa-apa ada meski kadang tidak cukup,” terang Pak Wira sambil tersenyum.

“Serba cukup itu semua ada dan saat dibutuhkan pasti tersedia,” lanjutnya pula.

“Kalau serba banyak itu berarti diperlukan atau tidak, semua banyak ya Pak?” ujar Datu hampir berteriak.

“Ha ha ha … begitulah,” tawa Pak Wira mendengar teriakan Datu. Peserta pelatihan lainnya, yang juga sedang beristirahat di ruang makan, semuanya menoleh. Pak Wira segera menangkupkan kedua telapak tangannya sambil berkata, ”Maaf-maaf teman-teman. Ini baru heboh diskusi dengan Mbak Datu,” ujarnya kencang sambil tersenyum. Dari sisi kiri, muncul Awan yang aktivis LSM, yang akhirnya duduk bergabung dengan mereka.

“Mbak Datu, coba diingat-ingat, kalau di desanya Mbak, gimana ciri petani yang bisa menyekolahkan anaknya hingga tinggi?” pancing Pak Wira.

Segera Datu berkerut kening mencoba mengingat-ingat kondisi petani di kampung halamannya. Awan yang duduk disampingnya juga ikut berkerut kening sambil memegang pelipisnya.

Sambil menunggu jawaban Datu, Pak Wira meneguk air kopi dari gelasnya. Dua hembusan asap rokok, raut wajah Datu mulai berbinar.

“Saya tahu jawabannya Pak. Ciri petani yang bisa menyekolahkan anaknya hingga tinggi, ya itu tadi serba ada,” kata Datu dengan tersenyum.

“Nah betul itu,” tanggap Pak Wira.

“Loh, maksudnya apa sih Mbak?” tanya Awan dengan raut penuh kebingungan.

“Ha ha ha. Mas Awan ketinggalan berita. Maksudnya begini Mas,” jawab Pak Wira memulai penjelasannya.

“Ciri petani yang bisa menyekolahkan anaknya hingga tinggi, ya serba ada itu. Ada yang bisa dipakai untuk ongkos harian anaknya sekolah, ada yang bisa untuk bayar SPP, ada yang bisa dipakai untuk bayar uang gedung, dan tidak lupa juga ada yang bisa dipakai untuk pengeluaran dapur harian, plus kebutuhan sosial lainnya,” jelasnya lagi.

“Wah kalau itu sih sama dengan petani kaya dong pak?” sergah Awan dengan bersemangat.

“Ndak Mas,” tukas Datu segera. “Bukan petani kaya, sederhana saja kok.”

“Untuk membayar uang gedung atau uang pangkal masuk sekolah, petani ini menebang 1 pohon jati yang ditanamnya sejak anaknya lahir. Kemudian menjualnya ke industri kayu,” jelas Datu.

“Untuk SPP, karena ini setahun bisa 2 atau 3 kali, maka dengan cara menjual ternak besar seperti kambing atau sapi,” sela Pak Wira.

“Betul Pak,” Datu menguatkan.

“Nah kalau untuk ongkos harian, ya diambilkan dari sumber harian seperti jual telur segar, telur asin, kacang panjang, kalau punya kolam ya bisa menjual ikan kiloan, atau lainnya,” tambah Pak Wira.

“Wah sama Pak!” pekik Datu kegirangan.

“Kalau mau nyumbang resepsi pernikahan atau khitanan, darimana Pak?” tanya Awan penasaran.

“Nah kalau tak terduga seperti itu, dipakai cara menjual ternak ayam atau itik satu atau dua ekor,” jawab Pak Wira.

“Untuk keperluan dapur dan kesehatan, bisa dilakukan dengan cara memelihara tanaman yang bisa dipetik untuk dapur sendiri atau untuk obat dan ini tidak untuk dijual. Misalnya, tanam sebatang atau du batang cabe, serei, pandan, seledri, bawang, tomat, dan sebagainya. Bisa di pekarangan rumah atau dalam pot, termasuk pot gantung,” tambah Datu membantu.

“Oh gitu ternyata!” sahut Awan takjub. Sementara Pak Wira tersenyum sambil menghisap rokok kreteknya.

“Wah jadi kita harus melakukan banyak hal ya, kalau mau sukses,” tegas Awan. Pak Wira dan Datu serentak mengangguk.

“Harus memelihara ternak besar, ternak unggas, ternak ikan, tanaman umur panjang, tanaman semusim, tanaman obat, tanaman dapur,” jelas Datu pula.

“Repot ya?” tanya Awan.

“Tinggal kita mau repot di depan atau di belakang Mas?” tanya balik Datu.

“Nah kalau masih beranggapan bahwa itu repot, itu artinya serba ada tanpa repot alias mau enak tak mau kerja,” Pak Wira menguatkan.

“Mbak Datu dan Mas Awan, pertanian berkelanjutan, selain tadi itu harus serba ada, juga harus serba lanjut,” tambah Pak Wira.

“Serba lanjut?” serentak Datu dan Awan berseru.

“Iya. Serba lanjut itu artinya mengelolanya tidak hangat-hangat tai ayam atau pas ada LSM yang masuk saja!” lanjut Pak Wira lagi.

“Ya ya ya betul sekali itu pak,” senyum Awan yang merasa aktif di LSM.

“Serba lanjut itu ya artinya terus menerus dipelihara, dilakukan, dibangun. Bukan justru dibunuh, dijadikan kerdil atau dikebiri. Harus punya angan-angan 10 atau 20 tahun lagi masih bisa manfaat, bisa terpakai,” terang Pak Wira lagi.

“He he he ini yang sulit Pak!” jawab Datu dengan tersenyum simpul.

“Ya ini sulit kalau kita ndak punya teman yang juga menjalankan hal semacam. Makanya ada anjuran agar kita selalu berusaha untuk berkumpul dengan teman-teman yang sejalan sepemikiran, bukan sebaliknya justru berkumpul dengan teman-teman yang tidak sejalan,” nasihat Pak Wira lagi.

“Betul juga Pak. Kalau kita berkumpul dengan yang berseberangan maka bisa-bisa semangat kita yang berapi-api atau pikiran-pikiran kita yang cemerlang, kandas dijalan,” Awan menguatkan.

“Trus selain serba ada dan serba lanjut, apalagi Pak?” desak Datu sambil melirik arloji kecilnya.

“Selain itu masih ada dua lagi, yakni serba dukung dan serba asih. Serba dukung itu …. uhuk … uhuk … bentar ya,” Pak Wira berhenti sejenak meneguk minuman kopinya yang tinggal separuh.

“Jangan tergesa-gesa Pak,” Awan memperingatkan. “Kita di sini masih 3 hari kok!”

“Ndak, papa kok. Gini. Serba dukung itu maksudnya antara satu sama lain yang kita pelihara harus saling mendukung bukan sebaliknya, menindas. Misal, sampah dapur, daun-daunan, sisa panen dan kotoran ternak harus digunakan untuk mendukung sebesar mungkin yang kita pelihara. Apakah itu tanaman, ternak atau lingkungan. Ya semua sampah dan sisa itu dibikin pupuk dulu, kemudian dikembalikan lagi ke lahan atau ternak kita,” lanjut Pak Wira lagi.

“Memilih tanaman juga begitu. Tidak bisa kita pelihara tanaman keras rakus air, misal Jati atau Sawit, di wilayah yang rawan air khan? Atau mencoba beternak sapi tanpa memikirkan dukungan ketersediaan hijauan makanan ternaknya khan?” cerocos Pak Wira lagi.

“Plok plok plok wah asyik sekali ilmunya Pak Wira ini!” ujar Datu sambil bertepuk tangan kegirangan. Ini semua jauh dari pemikirannya selama ini. Magic momenti beraksi.

“Betul, Pak Wira ini banyak ilmunya,” Awan menguatkan.

“Ah kalian ini malah mengejek ya?” ujar Pak Wira sedikit merengut.

“He he he maaf Pak, bukan mengejek. Beneran nih. Saya banyak yang belum tahu, Mas Awan kayak begitu juga,” jawab Datu sambil melirik Awan yang juga mengangguk-anggukkan kepalanya hingga hampir lepas.

“Ya sudah, nah yang terakhir adalah serba asih. Asih, mengasihi. Ini bagian tersulit karena berhubungan dengan rasa. Kalau tiga serba yang lain adalah olah pikir, yang ini olah rasa. Bangun perasaan, kalbu, bahwa lingkungan dan apa yang kita pelihara itu adalah bagian, betul-betul bagian dari kehidupan kita. Ibaratkan kalau jari kelingking kita sakit maka seluruh tubuh kita ikut sakit atau tak nyaman. Jangan jadikan apa yang kita pelihara semacam budak yang bisa dipaksa seenaknya, tanpa akibat apapun,” lanjut Pak Wira lagi sambil melirik kedua teman bicaranya yang masih muda usia.

“Jika serba asih diterapkan, maka itu layaknya cermin. Kalau kita mengasihi, maka kita juga akan dikasihi. Kalau kita mudah memberi maka sebaliknya juga akan mudah diberi. Namun catatannya, ini yang paling sulit, semakin kita tidak berharap memperoleh sesuatu dari apa yang kita lakukan, maka semakin joss. Ini namanya ikhlas. Kita membersihkan kolam ikan karena kasihan ikannya jika kolam dan airnya kotor, lha kita saja kalau kamar atau rumah kita kotor juga tidak betah tinggal di dalamnya khan?” jelas Pak Wira sambil menghisap rokok kreteknya lagi.

“Teng teng teng!” terdengar lonceng tanda panggilan dari panitia bahwa pelatihan akan dilanjutkan. Pak Wira pun hendak angkat badan.

“Bentar Pak. Jadi Pertanian Berkelanjutan itu harus serba ada, serba lanjut, serba dukung dan serba asih ya Pak?” Datu bertanya menegaskan.

“Iya. Empat serba. Ada, lanjut, dukung, asih. A, el, de, a atau ALDA,” tambah Pak Wira.

“Lho, kok kayak nama artis yang meninggal bunuh diri itu Pak?” tanya Awan.

“Lha iya khan,” jawab Pak Wira lagi, “Pertanian Berkelanjutan akan cuma menjadi kegiatan bunuh diri, kalau tidak menerapkan serba alda tadi.” Pak Wira pun terkekeh trus berdiri dan meninggalkan Datu dan Awan yang mencoba memahami maknanya.

Sedetik kemudian, “Wah Pak Wira!” teriak keduanya lari menyusul ke ruang pelatihan.


Catatan:
Magic moment = Saat-saat ajaib; Biasanya kemunculannya dapat membangunkan kesadaran terdalam yang mampu menggerakkan diri seseorang.

Karangasem, 20071004

Muhammad Riza

Ditulis atas permintaan Buletin Petani Advokasi, 2007, untuk rubrik Dangau


Powered by ScribeFire.

0 Comments: