Catatan Acak Proses Belajar

Menggagas Pemasaran oleh Petani

Pertengahan Juli 2004 ini beberapa organisasi non pemerintah (ornop) dari beberapa propinsi yang merupakan mitra sebuah organisasi internasional non pemerintah, berkumpul di Pontianak Kalimantan Barat. Selain membicarakan program kemitraan di bidang pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) yang sedang berjalan, acara ini juga membahas pemahaman tentang isu besar yang sudah lama muncul di kalangan petani maupun di kalangan organisasi non pemerintah yang bergerak di pertanian. Isu besar itu tidak lain adalah akses ke pasar (access to market).

Perbincangan dan diskusi dalam acara selama lima hari tersebut dapat memetakan kondisi ornop yang menjadi peserta acara ini. Meski beberapa ornop sudah ada yang mencoba melakukan kegiatan di bidang isu ini, namun tampak bahwa kebanyakan ornop masih belum memahami tentang tiga hal utama yang sebaiknya ada sebelum suatu ornop masuk ke wilayah ini (prakondisi). Ketiga hal tersebut adalah ilmu ekonomi, pemasaran (marketing) dan marjinalisasi (proses peminggiran masyarakat).

Hal pertama, pemahaman akan ilmu ekonomi, dipetakan dari keterbatasan pengetahuan yang hanya mengungkapkan keberadaan hukum penawaran – permintaan (supplies – demands) dan prinsip ekonomi. Hukum penawaran – permintaan hanya dimaknai secara general sementara ada hal lain yang harus diperhatikan seperti elastisitas penawaran – permintaan, jenis produk (konsumsi, pelengkap, pengganti, status, dan lainnya), serta tipe pasar (monopoly, oligopoly, kartel dan lainnya).

Sementara itu pemaknaan akan prinsip ekonomi yang muncul dari peserta, adalah keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran sesedikit mungkin. Makna ini adalah makna lama dari prinsip ekonomi, yang sudah berubah dengan perkembangan ilmu ekonomi itu sendiri. Saat ini prinsip ini lebih menggunakan makna sebagai keuntungan sebesar mungkin dengan pengeluaran tertentu atau keuntungan tertentu dengan pengeluaran seminimal mungkin. Unsur keterbatasan (limitation) sudah masuk dalam makna prinsip ekonomi saat ini.

Kedua, pemahaman akan pemasaran. Ada beberapa kerancuan (kebingungan) saat peserta mendiskusikan akses ke pasar (access to market). Hal ini menunjukkan bahwa pemasaran dimaknai hanya pada penjualan, padahal berbeda antara pemasaran (marketing) dengan penjualan (selling). Belum lagi jika dihubungkan dengan pemikiran pemasaran sosial (social marketing concept) sebagai upaya proaktif produsen akan tuntutan perlindungan konsumen (consumerism).

Saat diskusi, juga nampak ada kebingungan dalam menggunakan peristilahan yang ada. Atau bahkan bisa dianggap asal menggunakan istilah. Misalnya tentang kebutuhan manusia (human needs), keinginan (wants), pasar (market), pemasaran (marketing), konsumen (consumers), tempat penjualan (point of sales), posisi pemain pasar (pemimpin pasar/market leader atau pengikut pasar/market follower) atau pun kewirausahaan (entrepreneurships). Kebingungan yang nampak misalnya adalah mencampuradukan kebutuhan dengan keinginan, pasar dengan tempat penjualan, pasar dengan konsumen, serta monopoli dengan pemimpin pasar.

Beberapa kalangan yang kontra dengan pemasaran, sering mengungkapkan bahwa pemasaran adalah menciptakan kebutuhan. Dengan kata lain membuat orang menjadi konsumtif (menjadi sering mengkonsumsi sesuatu atau consumptivesm). Hal ini disangkal oleh kalangan pemasaran yang menyatakan bahwa kebutuhan dan keinginan manusia itu sudah ada sebelum pemasaran itu ada. Misal kebutuhan manusia akan kesehatan dan keinginan manusia untuk mendapatkan kesehatan yang murah dan mudah, sedangkan pemasar akan menyediakan jamu atau obat murah melalui pengembangan imajinasi (image building).

Pada kondisi tersebut pemasar hanya bertindak sebagai pihak yang mempengaruhi manusia untuk melakukan transaksi (tukar menukar), baik itu transaksi uang – barang (moneter transaction) atau barang – barang (barter transaction). Namun jika dikaji lebih lanjut, sebetulnya transaksi tidak hanya terjadi pada dua hal itu. Hal ini dikarenakan apa yang dipasarkan akan meliputi tiga produk yakni barang (misal beras), jasa (misal distributor beras) dan gagasan/ide (misal beras sehat tanpa pestisida dan pupuk pabrik).

Jadi sebetulnya ornop itu sudah familiar dengan pemasaran karena bergerak di wilayah gagasan atau ide. Misalkan gagasan “peningkatan harkat hidup petani melalui program pertanian berkelanjutan yang berbasis komunitas” adalah sebuah produk. Sang pemasar adalah ornop dan si pembeli adalah ornop donor dan petani mitra program. Dari sisi ornop donor yang terjadi adalah pertukaran antara gagasan (program) dengan dana, sedangkan dari sisi petani mitra program adalah pertukaran antara gagasan (program) dengan keterlibatan (partisipasi) petani.

Hal lain adalah kewirausahaan (entrepreneurships), yang ketiadaannya pada petani sering dianggap sebagai sebab kurang bisanya petani mengakses pasar. Kewirausahaan sendiri sebetulnya lebih sesuai dengan makna semangat atau kekuatan dalam diri (inner power) yang berani mencoba, gagal, dan mencoba lagi atau dengan kata lain semangat berusaha. Semangat ini sebetulnya sudah ada dalam diri petani sehubungan dengan usaha budidayanya. Namun jika kewirausahaan ini diartikan sebagai sebab gagalnya petani mengakses pasar tentunya kurang tepat.

Hal ketiga adalah pemahaman akan marjinalisasi (proses peminggiran masyarakat). Kurangnya pemahaman akan gagasan ini nampak dari munculnya usulan akan kewirausahaan. Kewirausahaan adalah proses perseorangan karena sangat berhubungan dengan semangat individu. Jika semangat berani mencoba ini ingin disebarkan merata ke kelompok petani, dalam arti pendekatan kelompok bukan perseorangan, maka itu tidak lagi sesuai dengan kewirausahaan. Ini lebih cenderung pada persoalan pengelolaan (manajemen) kelompok usaha, yang salah satunya adalah motivasi.

Sekiranya kewirausahaan ini yang menjadi fokus kegiatan ornop, maka akan muncul perseorangan yang menjadi pengusaha (petani pengusaha, bukan kelompok tani pengusaha). Jika hal ini terjadi maka dikhawatirkan justru akan memperkuat pihak-pihak yang akan meminggirkan petani. Kenapa? Karena pendekatan ini adalah sama dengan yang dilakukan beberapa pihak yang menggunakan gagasan trickle down effect (efek menetes ke bawah) yang berharap petani pengusaha akan berbagi kepada petani-petani lain yang belum mampu mengusahakan pertaniannya dengan baik (hal yang terbukti akhirnya bermasalah dalam pemerataan pembangunan/kesejahteraan).

Hal lain adalah isu Perdagangan Bebas (Free Trade) yang dihadapi dengan Perdagangan yang Adil (Fair Trade). Dari satu sisi gagasan ini sudah sesuai dengan apa yang diperjuangkan, yakni keadilan. Namun saat masuk dalam perbincangan adil untuk siapa, muncul ketidakjelasan yang sebetulnya mendasar. Saat berbicara adil, tentunya berlaku untuk semua manusia yang hidup di bumi ini. Apalagi jika hal tersebut berhubungan dengan hak asasi manusia. Artinya, jika petani di Indonesia menjadi kuat pada suatu saat nanti, tidak berarti boleh melakukan tindakan yang tidak adil untuk sesama manusia di belahan dunia yang lain.

Oleh karena itu pemahaman akan marjinalisasi ini penting untuk digagas sebelum ornop bermain dalam access to market ini. Hasil yang diharapkan dari pemahaman ini adalah suatu kumpulan nilai-nilai yang harus dijadikan pedoman mengembangkan access to market agar petani dapat sejahtera bersama, bukan sejahtera sendiri-sendiri. Tentunya ini atas kesadaran bahwa marjinalisasi akan dapat dihentikan atau setidaknya dikurangi jika semakin banyak petani berkelompok secara kuat dan mandiri memperjuangkan hak-haknya.

Terlepas dari hal tersebut di atas, setidaknya sudah direncanakan akan ada tahap prakondisi, yakni pelatihan pemasaran untuk ornop, agar ornop lebih siap menangani isu besar ini. Semuanya dengan harapan, Jayalah petani!

(Catatan Muhammad Riza saat mengikuti Program Consolidation Meeting (PCM) VIII CRS Indonesia - Sustainable Agriculture Program, Pontianak 12 – 16 Juli 2004)

Ditulis atas permintaan Buletin Petani Advokasi, Yayasan Duta Awam, Juli 2004

0 Comments: