Catatan Acak Proses Belajar

Ke(tidak)merdekaan Petani Indonesia

Tahun 2005, tepatnya 17 Agustus, merupakan hari istimewa bagi negara ini. Telah 60 tahun Indonesia merdeka. Telah banyak hasil yang muncul dari proses kemerdekaan selama ini. Hasil-hasil baik, dan juga hasil-hasil buruk.

Mari kita mengaca, bagaimana nasib petani saat ini? Mari berhitung berapa banyak kebaikan dan keburukan yang dinikmati petani dan anak cucunya, yang konon jumlahnya terbanyak dari keseluruhan jumlah penduduk negeri tercinta ini, yang disanjung-sanjung sebagai tokoh yang memberi makan dunia.

Indonesia merdeka sudah lama, namun apakah petani Indonesia sudah merdeka? Sudahkah petani tidak dijajah? Nampaknya belum sama sekali.

Penjajahan, zaman dulu maupun sekarang, dirasa atau tidak, memiliki ciri khusus. Ciri penjajah adalah akan selalu berusaha mengurangi atau bahkan meniadakan kuasa atau kekuatan para pihak yang dijajah. Dengan kata lain, calon pihak terjajah atau sudah terjajah akan dilemahkan struktur utamanya secara terus menerus. Struktur utama merupakan kekuatan yang harus dihancurkan.

Ibarat bangunan yang struktur utamanya adalah pondasi, tiang-tiang penyangga dan atap, dapatkah terbayangkan apa jadinya bangunan tersebut jika disengaja dibuat tidak cukup kuat? Hancur, atau minimal penghuninya akan selalu was-was detik demi detik seraya berharap bangunan tersebut tidak runtuh menimpanya.

Lantas apa struktur atau kekuatan utama petani? Pertama, sebagai pondasi adalah hak asasi (dasar) manusia. Bukankah petani juga manusia? Kedua, sebagai tiang penyangga adalah benih, tanah dan air. Tidak mungkin ada petani jika salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak dimiliki petani. Meskipun terpaksa harus meminjam atau meminta, ketiga unsur itu harus ada jika seseorang ingin bertani.

Ketiga, sebagai atapnya adalah hak-hak warga negara atau masyarakat sipil. Hak ini tentunya sama antara petani, pedagang, pegawai, guru dan warga negara lainnya. Tidak ada perbedaan hak antara petani dengan kepala dinas atau bahkan menteri, atau dengan aktivis LSM.

Sekali lagi mari kita mengaca, apakah ketiga kekuatan utama petani tersebut ada? Masih kuat atau justru dilemahkan? Dimiliki dan dikuasai? Atau dimiliki namun tidak dikuasai? Atau malah tidak dua-duanya? Jika demikian, apakah petani sudah merdeka?

Kegundahan Sri Sutardi, Suwandi, Abdul Ghani dalam tulisan mereka di laporan utama buletin edisi ini, akan membantu menegaskan jawaban atas pertanyaan tersebut di atas.

Jika jawabannya adalah bahwa petani Indonesia belum merdeka, pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana petani bisa merebut kemerdekaannya? Ingat, saat proses kemerdekaan bangsa ini, selain berjuang sendiri dengan senjata seadanya merebut kemerdekaan, kita juga dibantu bangsa lain.

Saat ini, selain petani harus melakukan pembelaan atas hak-haknya (advokasi), juga dapat memanfaatkan setiap peluang yang ada. Bekerjasama dengan pihak lain yang peduli nasib petani, pilihlah wakil rakyat dan kepala daerah yang jelas-jelas peduli nasib petani.

Namun jangan lupa pula, setiap upaya bersama terkadang dilemahkan oleh nafsu-nafsu, pengkhianatan, ketidakjelasan niat, godaan pihak luar, dan lain sebagainya. Sangat penting petani dan para pecinta petani, saling bahu membahu, saling asah asih asuh, saling mengingatkan dan menyemangati satu sama lain, untuk satu tujuan yakni Merdekalah Petani Indonesia.

Dirgahayu Republik Indonesia. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.

Ditulis atas permintaan Buletin Petani Advokasi, Yayasan Duta Awam, Juli 2005

0 Comments: