Catatan Acak Proses Belajar

Petani Mengakses Pasar

Seorang pemuda tani yang tinggal di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan, Made Lutra, akhir Mei lalu pernah mengungkapkan kepada saya suatu rumusan petani yang sukses. Dia dengan lugas menyebutkan rumus 58 (lima delapan) jika petani ingin berhasil. Rumusan ini sudah sejak lama dikampanyekannya ke berbagai pihak yang terkait sector pertanian, baik di tingkat kabupaten maupun tingkat yang lebih tinggi. Sampai-sampai peneliti dari salah satu Balitbang Deptan, tertarik membahasnya.

Jika kita kental berkecimpung dalam bidang penguatan petani, maka lontarannya Lutra dapat dipastikan menarik. Kenapa menarik? Karena gagasan ini muncul dari kecerdasan petani muda, yang betul-betul menerapkan usaha tani ternak dengan tangan dan keringatnya sendiri.
Di masa kini, sangat jarang ditemukan pemuda cerdas di desa-desa yang masih mau melakukan hal ini.

Lima delapan, merupakan bilangan penanda untuk 5 (lima) hektar lahan jagung dan 8 (delapan) ekor sapi. Menurut Lutra, jika petani memiliki dan mengelola itu dengan sungguh-sungguh, maka petani akan mendapatkan “gaji” per bulannya sekitar 3 juta rupiah. “Itu baru petani bisa sejahtera,” ujarnya dengan mata berbinar-binar.


Rumusan Lutra di atas, bukannya tidak beralasan. Satu informasi yang menyebutkan sumbernya dari salah satu international financial institution, mengungkapkan bahwa petani akan sejahtera jika mengelola 5 (lima) hektar lahan. Sementara itu salah seorang aktivis Serikat Petani Sumatera Selatan, yang kebetulan pernah berkunjung ke kalangan serikat petani di Amerika Latin, menyatakan bahwa di sana ukuran kesejahteraan petani adalah jika petani mengelola 20 hektar lahan untuk ternak dan tanaman multi cropping.

Di Indonesia sendiri, mengharapkan semua petani memiliki hektaran lahan adalah bak pungguk merindukan bulan. Reforma agraria (land reform) yang ada sejak jaman Bung Karno, hingga kini entah kemana. Tanah memang merupakan satu isu penting. Bagaimana tidak, ada petani yang memiliki cukup uang namun tidak ada orang yang mau menjual tanah
pertaniannya. Banyak orang yang lebih tertarik menjualnya ke pihak property, untuk pabrik atau perumahan. Konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian, meski telah digawangi oleh beragam aturan, tetap berjalan terus.

Out of the Box

Beberapa kajian tentang kemiskinan petani, sering membicarakan bagaimana lemahnya aspek-aspek man, machine, money, method. Lalu kemudian membuat rekomendasi atas semua itu. Rekomendasi yang menjadi mengada-ada jika tujuannya untuk mengentaskan petani. Bagaimana mungkin terjadi jika aspek genetik (bawaan/penyebab) saja belum
dikenali sudah dapat menghasilkan gagasan solusi? Pragmatik, bukannya holistik.

Tak heran jika pembangunan berbasis dana utang, yang telah memakan milyaran dolar, tak kunjung terlihat hasil nyatanya. Kalau pun ada yang terlihat, segera habis akibat pengurangan atau penghapusan subsidi serta kenaikan harga-harga.

Menyoal keterbatasan/limitasi petani, kajian-kajian yang mencoba mengenali mengapa aspek-aspek di atas lemah, menemukan hulu dari itu semua yang sering disebut sebagai pemiskinan struktural (sengaja dimiskinkan secara terstruktur). Sebagai contoh factual adalah kebijakan impor beras. Alurnya selalu jelas, pertama berita kekeringan, kemudian kabar gagal panen, seterusnya info stok beras di pasar induk, selanjutnya berita harga beras naik, lalu kabar impor beras, dan polemik impor beras, dan terakhir harga beras normal. Titik.

Selanjutnya tidak ada lagi berita-berita yang mengekspos bagaimana petani dan keluarganya melakukan tambal sulam menutup ekonomi rumah tangga, akibat kekeringan dan gagal panen, serta akibat kenaikan-kenaikan harga yang mengikuti kenaikan harga beras. Yang paling menderita adalah petani-petani gurem (berlahan super sempit atau lahan marjinal atau buruh tani). Mereka dikorbankan atas nama kebijakan stabilitas harga dan cadangan beras, tanpa kompensasi, dan ini baru satu contoh.

Segala bentuk pemiskinan petani ini sebetulnya tidak baru. Tidak hanya dalam sepuluh duapuluh tahun saja. Sejak dulu kala. Lantas apa yang harus dilakukan petani? Out of the box. Keluar dari kotak, keluar dari cara berpikir yang biasa-biasa.

Gagasan Made Lutra di atas, yang sedang diupayakannya itu –dia sudah memiliki beberapa ekor sapi, sebagian masih pinjaman (gaduhan)- adalah contoh out of the box. Tentunya hal seperti itu tidak bisa diterapkan di lahan sempit, seperti di Pulau Jawa, Madura dan Bali.

Smart Works

Terlepas dari luas atau sempitnya lahan, pemiskinan petani selama ini terjadi atas politik ekonomi dan equilibrium dari supply – demand. Di era di mana saat ini banyak pemerintahan/negara mengebiri dirinya sendiri dengan mengurangi sebagian besar urusan ekonominya atas nama Free Trade, maka sudah seharusnya petani melakukan kerja-kerja cerdas.

Ngaliman, petani dari Sidoarjo Sragen yang juga peternak, menggunakan ilmu titen alias niteni, niroake, nambahi, dalam upayanya “menunggangi” equilibrium dari supply – demand. Dia telah betul-betul lihai dalam mengenali pembeli, lokasi, dan waktu. Bersama keluarganya, dia mengatur waktu panen, kirim, jual dan mengelola persediaan.

Penerapan ilmu titen, sudah menandakan bahwa Ngaliman merupakan petani entrepreneur. Kalangan entrepreneur dari Barat sering menggunakan istilah semacam do, see, get atau see, do, get untuk maksud yang kurang lebih sama.

Meski sudah bekerja cerdas, keluarga Ngaliman masih juga harus bekerja keras. Dampak dari politik ekonomi (nasional dan global) tak kuasa dihadapinya sendiri. Kehidupannya masih relatif biasa-biasa saja, layaknya petani di desa-desa umumnya. Itulah kenapa dia, yang juga
menjadi salah satu pengurus Kelompok Tani Pinter ini, getol mengajak petani aktif berkelompok untuk memadu-kuatkan beragam modal kelompok.

Kisah smart works yang dilakukan petani sebetulnya ada di banyak tempat. Salah satu lainnya adalah Kelompok Usaha Kompak (KU Kompak) di Selo, Boyolali. Kelompok yang dikomandani Tamam ini, menggagas pengurangan biaya usaha ternak yang sekaligus mengurangi kerugian jika menjual jagung ke pasaran lokal. Strike shoot!

Kelompok ini mengolah komoditas menjadi produk, jagung menjadi pakan ternak. Kapasitasnya memang belum besar, namun setidaknya mereka masih punya mimpi, yang artinya tahu mau melangkah kemana.

Mencermati kisah Ngaliman dan KU Kompak di atas, saya jadi teringat dulu waktu ikut perkuliahannya Bapak Suyudi Mangunwihardjo, Optimasi Matematis untuk Perusahaan. Bagaimana mencapai tujuan yang rasional dengan segala batasan-batasan yang ada. Itu terjadi, dengan cara yang sederhana.

Memadu-kuatkan beragam modal kelompok (dalam arti tidak hanya uang) menjadi sangat berarti. Konsepsi ini sudah sejak lama digagas banyak orang, dan dicoba-terapkan. Koperasi adalah semangatnya, namun dengan nama yang sangat beragam. Sebagian besar nama-nama pengganti itu terlahir hanya untuk menghindari nama koperasi yang terlanjur tercoreng oleh oknum-oknum perkoperasian sendiri.

Di luar kampus, di kalangan masyarakat kecil, akan lebih sering muncul nama KSU (Kelompok Serba Usaha, sebagai pengganti Koperasi Serba Usaha), KSP (Kelompok Simpan Pinjam, sebagai pengganti Koperasi Simpan Pinjam), KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), KU (Kelompok Usaha), Credit Union, BMT (Baitul Maal wa Tamwil) dan lainnya, selain di beberapa tempat memang masih ada yang menggunakan nama koperasi.

Dua minggu lalu, dalam Rice Chains Workshop yang dilaksanakan oleh HIVOS Regional Asia, diungkap fakta-fakta ketidakberdayaan petani dalam rantai perdagangan beras. Ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tapi juga di beberapa negara konsumen beras.

Bukan berita baru, dan mungkin tidak menarik bagi kalangan dunia usaha. Bagi kalangan pro petani yang bukan pebisnis (yang kebanyakan dari kalangan not-for-profit organization), bermunculan gagasan-gagasan baru dan terjadi knowledge sharing atas lesson learnt masing-masing peserta. Gagasan terkuat adalah memotong rantai distribusi (bagian dari marketing mix), yang di beberapa lokasi sangat memungkinkan berhadap-hadapan dengan mafia atau premanisme.

Gagasan dari kalangan pebisnis yang mengaku pro petani, kurang lebih sama, gunakan konsepsi marketing! Sedangkan dari kalangan pengembang koperasi, tidak meleset dari seputar penguatan kelompok dan pemupukan modal kelompok.

Sintesa, sebuah organisasi di Sumatera Utara yang merupakan elemen pendukung SPSU (Serikat Petani Sumatera Utara), memilih jalan memotong rantai distribusi beras. Mereka punya kilang (penggilingan) padi dan juga direct selling ke para langganannya. Butuh waktu lebih dari dua tahun dan dana lebih dari 200 juta untuk merealisasikan langkah tersebut, dan itu belum selesai begitu saja. Masih banyak hal yang perlu dilakukan.

Challenges

Ada banyak tantangan dalam pengembangan akses petani ke pasar. Tantangan terbesar adalah (i) memindah mindset selling concept menjadi marketing concept; (ii) mengenalkan karakteristik produk dan karakteristik pasar (termasuk consumer behaviors); (iii) menyatukan
usaha, dalam arti rencana usaha (business plan serta marketing strategy/plan) dan pelaksanaan usaha (meski tidak semua usaha milik petani disatukan); (iv) menstimulasi modal internal dulu baru modal eksternal; (v) pemilihan prioritas dan kendali pelaksanaannya.

Tantangan yang ada dalam beberapa level yang berbeda untuk kelompok-kelompok berbeda, sangat berpotensi menstimulasi para out of village expert tergoda untuk mengambil peran-peran yang sebaiknya berada di kelompok. Godaan ini perlu dicermati dengan hati-hati, serta tetap berpegang pada sustainability kelompok usaha tani ini ke depan.

Tantangan lain yang bisa membuat petani terjebak di kemudian hari adalah kecenderungan untuk mencari big buyer, sekali jual produk habis. Prinsip-prinsip memecah resiko, loyalitas konsumen dan sustainabilitas menjadi signifikan dipahami oleh setiap anggota kelompok.

Jika prinsip-prinsip yang ada tetap dipegang, maka sangat dimungkinkan adanya kerjasama antar desa yang memiliki produk yang sama, untuk memenuhi kebutuhan big buyer. Model semacam ini sudah banyak dikembangkan, ada yang menyebutnya model clustering, model rural agro enterprise development, atau lainnya.

Ini memang tidak mudah. Untuk mempermudah prosesnya, pastikan semua hal merupakan rasa, karsa dan karya kelompok tani sendiri. Pakar dari luar hanyalah semacam tenaga paruh waktu yang harus siap jika sewaktu-waktu dipanggil.

Muhammad Riza, Mantan EDENTS, saat ini aktif di Yayasan Duta Awam (YDA) Solo

Ditulis atas permintaan Majalah EDENTS, FE Universitas Diponegoro untuk Rubrik Suara Ekonomi, September 2006, namun baru dimuat dalam Jurnal Kemiskinan Agustus 2007

0 Comments: