Catatan Acak Proses Belajar

SMART + SKILL + SIKAP + SPIRIT = SUKSES (PETANI)

Satu refleksi berharga dari seorang teman yang berkecimpung dalam 'akses petani ke pasar'

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak terasa hampir 4 (empat) tahun kita telah berkecimpung dalam menfasilitasi program ‘akses petani ke pasar’.

Banyak hal yang telah dilakukan dalam rangka mengentaskan kemiskinan di lingkungan penggiat NGO, termasuk salah satunya adalah bagaimana mendorong petani mampu mengakses pasar.

Kita ketahui, sejak kecil paradigma petani kita kebanyakan dibentuk dalam pola subsisten dimana kebanyakan menganggap bertani adalah panggilan hidup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, baru kemudian sisanya dijual; atau bisa pula karena keterpaksaan akibattiada pilihan profesi lainnya. Petani kebanyakan melakukan budidaya berdasar pada ‘kebiasaan turun temurun’ yang diwarisi dari orangtuanya, baik berupa pilihan jenis komoditi yang ditanam, maupun pilihan teknologi, dll. Kebanyakan petani menjalankan usaha tani hanya berdasar naluri alamiah, dan kebanyakan masih belum berperilaku sebagai seorang wirausaha/enterpreneur.

Boleh dicoba dalam pertemuan petani, jika ditanya apakah ada yang berprofesi sebagai pengusaha, pasti jawabnya hampir sebagian besar mengatakan bahwa disini tidak ada pengusaha. Tidak mudah mengajak petani merubah paradigma dari pola pikir ’tanam dulu, baru kemudian jual’ ke arah ‘apa saja yang dibutuhkan pasar, baru tanam sesuai permintaan pasar’ atau dengan kata lain menjadi petani pengusaha yang berorientasi pasar.


SMART (Cerdas)

Sudah berulangkali disampaikan dalam berbagai seminar motivasi maupun leadership bahwa salah satu syarat untuk sukses, selain bekerja KERAS, juga harus bekerja SMART.

Bekerja SMART berarti harus berani ‘beda’ dengan yang dilakukan sebelumnya, harus berani ‘beda’ dengan yang lainnya, atau dalam bahasa lainnya punya ‘nilai tambah’, ‘nilai lebih dalam persaingan’, unik, dll.

Demikian pula apabila kita ingin mengajak petani keluar dari permasalahan ‘ketakberdayaan’ yang membuat terjebak dalam kehidupan yang serba berkekurangan, maka pilihan strategi harus ‘beda’ dengan sebelumnya, karena tidak mungkin kita mengharapkan hasil yang sangat berbeda, namun tetap menggunakan strategi yang sama terus menerus. Kita harus berani mengidentifikasi strategi lama apa saja yang sudah ‘out of date’ yang harus segera digantikan dengan strategi ’baru dan beda’ yang mampu merubah kehidupan petani.

Mari kita coba identifikasi strategi lama antara lain:

  1. Tanam dulu, baru kemudian jual

Kebiasaan petani menanam dulu tanpa melakukan penjajagan pasar secara cepat, membuat posisi petani selalu lemah, baik dalam penentuan harga maupun kemampuan memenuhi pasokan sesuai komoditi yang dihasilkan. Seringkali petani mendapatkan harga yang tidak layak karena masalah waktu jual yang tidak tepat karena sedang ‘banjir pasokan komoditi yang sama’, atau karena ternyata kebutuhan pasar sedikit, sedang produsen melimpah, baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional. Ketidaktahuan petani mengenal ‘karakteristik pasar yang terus berubah-ubah’ membuat petani menjadi korban dari ‘mafia pasar’ yang seringkali mengelabuhi petani dengan berbagai macam trik.

  1. Yang penting kuantitas, bukan kualitas

Sebagian petani masih berpikir tentang kuantitas, bukan kualitas, sehingga kurang menjaga kualitas sesuai permintaan pasar. Sering terjadi para petani mencampur komoditinya dengan ‘barang lain’ supaya lebih berat namun merugikan karena membuat buyer terkecoh dan tidak mau membeli lagi. Selain itu cara pandang petani yang hanya mendasarkan pada persepsinya, bukannya persepsi konsumen, seringkali merugikan petani karena ketika memproduksi komoditi dalam jumlah banyak tapi tak disukai konsumen atau harganya yang rendah, jelas akan menurunkan tingkat pendapatan petani secara langsung.

  1. Memproduksi hanya berupa komoditi primer/bahan mentah

Petani kita sangat tertinggal dalam memanfaatan teknologi tepat guna (TTG), terutama untuk penanganan pasca panen dan pengolahan lanjut. Hal ini dapat terlihat dari sedikitnya penyebaran TTG hasil dari penemuan litbang maupun LPM universitas di desa-desa. Padahal kita semua tahu dengan menjual komoditi primer/bahan mentah maka harga yang diperoleh akan sangat rendah, tidak akan memperoleh nilai tambah dan komoditi akan mudah rusak alias tidak tahan lama.

  1. Memproduksi dalam skala kecil

Karena keterbatasan luasan lahan dan modal untuk sarana produksi, para petani hanya mampu memproduksi dalam skala kecil yang berakibat biaya per satuan menjadi lebih tinggi dan mempersulit dalam pemasaran.

  1. Menggunakan lebih banyak input luar (revolusi hijau)

Program pemerintah yang terinspirasi oleh Revolusi Hijau dengan BIMAS/INMAS/INSUS/SUPRA INSUS, dll telah menyebabkan para petani kita sangat tergantung pada ‘pihak luar sebagai suplier input produksi’ seperti pupuk buatan, pestisida buatan, benih hibrida, pakan ternak buatan dll sehingga ketika harga sarana produksi yang harus dibeli terus meningkat harganya, maka petani dihadapkan pada pilihan yang sulit yang akan mempengaruhi tingkat pendapatannya.

  1. Kurang cerdas dalam pengelolaan keuangan/finansial

Kita harus akui masih banyak dari para petani kita yang ‘belum tahu cara menghitung keuntungan’ dari usaha taninya. Seringkali petani memilih jenis komoditi yang ditanam karena kebiasaan atau karena ‘latah’. Ketika harga suatu komodit melejit tinggi, maka ramai-ramai petani menanam komoditi yang sama dimana ketika panen harga akan jatuh. Padahal kita tahu apabila sebagai seorang investor kita jangan melakukan investasi pada satu tempat atau dalam kalimat kiasan disebutkan ‘jangan meletakkan telur pada satu keranjang’ karena kalau keranjang tumpah, maka telur akan pecah semuanya. Artinya kalau petani berperilaku sebagai investor mau tidak mau harus melakukan diversifikasi usaha, misal selain dari pilihan jenis (ternak, tanaman, perikanan, hutan dll), juga berdasar umur panen (jangka pendek, menengah, panjang), trend pasar, dll. Perilaku sebagai investor juga harus terus dikembangkan, sehingga sebagian pendapatan harus dipaksa untuk ditabung dalam rangka menambah aset/kekayaan keluarga dimana aset ditanamkan lagi sebagai investasi yang akan meningkatkan pendapatan dst. Pengelolaan ekonomi rumah tangga harus terus dievaluasi untuk bisa ‘hidup hemat dan menabung’ sehingga tidak terjadi pemborosan atau defisit hanya karena harus memenuhi biaya sosial yang tinggi seperti untuk sumbangan sosial dll. Cara berpikir produktip dan kreatif/banyak akal harus terus dipupuk untuk meningkatkan kualitas kehidupan petani dari tingkat terendah yakni MBA Tk 1 (Manusia Banyak Alasan) ke MBA tk II (Manusia Banyak Akal), ke MBA tk III (Manusia Banyak Aset) dan terakhir MBA tk IV (Manusia Banyak Amalan).

  1. Menjual secara individual dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya (seperti yang terjadi di petani dampingan YSLPP Sumbawa) karena :

    1. Petani meminjam benih dari tengkulak setiap musim tanam, walaupun dengan pengembalian yang cukup besar yaitu 1 karung kacang tanah kembali 2 karung. Sebagian besar petani merasa tidak enak dan terpaksa kalau harus menjual ke pengusaha lain, karena sudah diberi pinjaman benih dan biaya panen.

    2. Petani tidak cukup uang untuk biaya panen, sehingga lagi-lagi masih harus meminjam pada tengkulak.

    3. Petani tidak bisa menahan produknya karena harus segera dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga terutama untuk kebutuhan makan sehari-hari.

    4. Petani menjual secara sendiri-sendiri, dimana harga berbeda antara petani yang satu dengan yang lainnya dan terkadang petani langsung menjual sebelum sampai waktu panen (sistem ijon) sehingga harga dipermainkan oleh pengusaha.

    5. Kekhawatiran selalu ada di benak petani, kalau terlambat jual barang rusak dan tidak ada yang beli sehingga begitu panen langsung dijual dilahan (pengusaha/tengkulak membawa truk ke lahan).

Jadi untuk membantu petani menuju kemandirian, kita perlu mengajak petani merubah strategi diatas dengan strategi baru yakni:

  1. Memproduksi berdasar permintaan pasar

  2. Menjaga kualitas dan sesuai dengan persepsi pasar

  3. Melakukan perbaikan pasca panen dan pengolahan lanjut, dengan memanfaatkan TTG yang ada di berbagai institusi litbang., perguruan tinggi, dll

  4. Memproduksi dalam skala besar melalui kebersamaan dalam perencanaan produksi

  5. Memperbanyak penggunaan input lokal

  6. Meningkatkan kecerdasan keuangan/finansial

  7. Menjual -memasarkan- secara bersama (collective marketing)

  8. Bersikap sebagai seorang investor di bidang pertanian (dalam arti luas)

  9. Melakukan penghematan melalui kesepakatan bersama untuk menekan biaya kegiatan adat-istiadat/sosial

Berpikir dan bertindak SMART selain merubah strategi lama, juga perlu melihat kendala yang ada di luar diri para petaniyang mempengaruhi hidupnya seperti:

  1. Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung pembangunan pertanian (impor beras, tiadanya asuransi untuk petani karena bencana alam, land reform, minimnya alokasi dana APBD untuk perbaikan infrastuktur pedesaan seperti pengaspalan jalan desa menuju kota, perlistrikan desa, telekomunikasi, dll)

  2. Keterbatasan ketersediaan infrastuktur yang mendukung seperti jalan; sarana transportasi; irigasi, embung, dam; tersedianya energi listrik, telekomunikasi, pelabuhan, dll

  3. Globalisasi dengan berbagai perangkat aturan yang mengatur perdagangan dunia yang lebih banyak menguntungkan petani negara maju, dll


SKILL

Sampai saat ini sebagian besar program pengembangan pertanian masih berkutat di seputaran hulu (produksi) yang terbukti dengan banyaknya layanan fasilitasi yang diberikan pemertintah sebagai penyelenggara layanan publik lebih ditekankan pada hal-hal yang terkait dengan teknis produksi seperti konservasi lahan, cara/teknis budidaya, pemupukan, dll. Belum banyak program pengembangan pertanian yang mengkaitkan hulu-hilir (pasar).

Dalam peradaban yang terus berubah begitu cepat, mau tak mau memaksa petani untuk harus secara cepat pula dalam merespon perubahan yang terjadi kalau tidak mau tergilas oleh perubahan itu sendiri. Kecepatan dalam mengakses informasi menjadi hal yang sangat strategis dalam menyikapi perubahan yang cepat. Petani selain dituntut mempunyai skill/ketrampilan dalam hal teknis budidaya, juga perlu memiliki beragam ketrampilan yang mendukung dalam mengakses pasar seperti :

  1. Kemampuan mengakses informasi dengan memanfaatkan teknologi informasi (layanan SMS, website, email, dsb)

  2. Melakukan penjajagan pasar secara cepat untuk melihat kondisi pasar yang selalu berubah-ubah

  3. Melakukan analisis usaha untuk memilih usaha yang paling menguntungkan

  4. Membuat perencanaan produksi secara bersama dalam suatu hamparan untuk mencapai skala permintaan pasar

  5. Melakukan kontrol kualitas komoditi/produk secara tersistem (Total Quality Control)

  6. Mampu melakukan negosiasi dengan para buyer/pembeli untuk mendapatkan harga yang layak

  7. Mengakses teknologi yang membantu petani dalam mengelola komoditi baik saat pasca panen maupun pengolahan/prossesing lanjut

  8. Mampu mengorganisir diri dalam produksi maupun dalam memasarkan secara bersama melalui wadah asosiasi petani sebagai basis kekuatan petani.


SPIRIT

Spirit atau jiwa wirausaha/entrepreurship sebagian petani kita masih perlu ditingkatkan, karena memang pada awalnya sebagian besar petani belum dikenalkan dengan konsep wirausaha. Petani belum dibiasakan ‘bergaul‘ dengan pola pikir dan cara bertindak para pembisnis yang sukses seperti pengusaha Bob Sadino, yang mampu mengkaitkan hulu-hilir dalam memasarkan hasil komoditinya dengan mendirikan Kemp Chick, pekebun swasta pemasok swalayan dan ekspor, dll. Sebagian petani kita masih melihat usaha tani sekedar meneruskan usaha orang tuanya atau hanya sekedar menyambung hidup selagi tidak ada pilihan lain untuk memperoleh pendapatan.

Spirit ‘hidup hemat dengan jalan menabung untuk investasi’ harus terus dikembangkan dalam upaya meningkatkan aset/kekayaan keluarga petani yang dikelola secara bersama dalam bentuk Kopdit, UBSP dll, yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk diinvestasikan lagi, semisal dalam bentuk membeli lahan, benih, bibit ataupun dalam bentuk membeli ternak, menanam tanaman kayu, dll.

Spirit solidaritas hidup dalam kebersamaan dalam berbagai bentuk seperti dalam wadah Asosiasi Petani yang diharapkan mampu merubah ataupun mengurangi ketergantungan para petani pada pihak luar, baik berupa kebijakan yang belum memihak pada petani seperti akses yang sulit terhadap pinjaman modal usaha, ketersediaan informasi harga, informasi teknologi, dll, sehingga lebih mudah bagi para petani untuk menuju kemandirian. Kita tahu betapa dasyat kekuatan dari sebuah solidaritas seperti yang telah ditunjukkan oleh Solidaritas buruh di Polandia yang pada akhirnya mampu menjungkirbalikkan penguasa yang menindas, kita juga tahu bahwasannya solidaritas mampu merubah wajah dunia sehingga mampu menghapuskan tindakan yang tidak adil seperti perbudakan, diskriminasi warna kulit, dll. Kita harus bisa membuktikan bahwa solidaritas para petani kalau sungguh-sungguh lahir dari lubuk hati para petani akan menjadi kekuatan yang luar bisa dalam merubah berbagai kebijakan yang tidak menguntungkan petani termasuk didalamnya harga yang tidak layak, kebijakan impor beras, dll.

Salam sukses untuk para petani yang berjuang mewujudkan kemandirian, yang secara tak langsung juga ikut berkontribusi dalam memandirikan bangsa Indonesia di tengah arus pusaran globalisasi.


Tony Suryo Kusumo

tony.suryokusumo [at] gmail [dot] com
(Pikiran di atas merupakan pendapat pribadi, tidak mencermuinkan/mewakili pemikiran organisasi)

1 Comment:

Davidfern said...

artikel inspiratif, jadi lebih yakin bahwa kita perlu menanam dulu, proses bertumbuh lalu menuai kemudian, prinsip hidup sepanjang jaman. thanks info nya. :)