Catatan Acak Proses Belajar

Petani dan Kontrak Pertanian

Masyarakat petani Indonesia saat ini mencapai jumlah ratusan juta jiwa, yang sebagian besar diantaranya berada dalam kondisi yang tidak berkecukupan memenuhi kebutuhan hidup idealnya. Kondisi ini bukanlah kondisi yang hanya terjadi di era infomasi saja tapi juga terjadi dan selalu terjadi di era-era sebelumnya. Nasib petani dan keluarganya, dari dulu hingga saat ini belum diuntungkan atau selalu tidak diuntungkan.

Selama sejarah kehidupannya, petani bukannya lelah berusaha menjadi sejahtera dalam makna mereka sendiri dan dalam makna menurut orang lain. Namun ketidakpedulian dan kekurangpedulian orang lain lah yang menyebabkan kesejahteraan mereka selalu terabaikan.

Banyak kalangan akan menyebutkan bahwa ada banyak pihak yang peduli petani. Ada banyak kebijakan yang pro petani. Ada banyak proyek yang dibangun untuk petani. Namun jika pada saat ini petani di Indonesia masih sangat banyak yang belum berkecukupan, tentunya akan menimbulkan pertanyaan. Ada apa ini? Dan mmengapa bisa begitu?

Pertanyaan tersebut juga akan menimbulkan banyak jawaban. Kemampuan sumberdaya petani yang rendah. Kebijakan pemerintah yang tidak memihak. Kalangan pengusaha yang berorientasi keuntungan semata. Negara lain yang ingin untungnya sendiri. Penguasa yang tidak berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Organisasi non pemerintah yang memanfaatkan petani. Dan ada banyak lagi jawaban-jawaban lainnya, sesuai interest masing-masing. Yang jelas, pro kontra tersebut bukanlah tema yang akan dibicarakan di sini.

Salah satu upaya petani meningkatkan pemenuhan kebutuhannya adalah dengan cara melakukan ikatan-ikatan yang dianggapnya mampu meningkatkan keuntungan petani. Namun boro-boro untung, kadang ada banyak petani yang justru buntung, rugi, tidak balik modal atau usaha taninya mandeg (berhenti) sama sekali. Boro-boro untung dengan tingkat yang setara, malah untung sedikit saja sudah senang sekali, bahkan impas saja sudah terima kasih.


Perjanjian

Ikatan antara satu pihak dengan pihak yang lain, ada banyak pengertian dan macamnya. Ikatan ini ada yang bertujuan social dan bertujuan non social atau antar person, yang merupakan wujud dari adanya perjanjian antar pihak. Ada perjanjian yang berbentuk tertulis dan ada yang tidak tertulis. Yang tertulis bisa dalam banyak wujud, contohnya undang-undang, peraturan, kontrak, kesepakatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dan lainnya. Sedangkan yang tidak tertulis contohnya adalah hukum adat, kebiasaan masyarakat atau budaya masyarakat, komitmen akan sesuatu, janji lisan, dan lainnya.

Ikatan bisa terjadi sesungguhnya atas satu dasar, bahwa semua pihak yang berada dalam ikatan tersebut sama-sama memiliki pemahaman yang sama tentang isi perikatan atau perjanjiannya, sadar dan rela melakukan perjanjian. Artinya di sini harus ada pemahaman bahwa semua pihak yang berada dalam perikatan tersebut memiliki kesepahaman dulu baru melakukan perjanjian dengan penuh kesadaran tanpa paksaan (rela). Paham dalam arti tahu untung dan rugi kedua belah pihak, tahu hak dan kewajiban satu sama lain, dan tidak merugikan salah satu pihak.

Kalau dilihat dari aspek hukum, sebenarnya pihak-pihak yang melakukan perjanjian dianjurkan untuk membuat akad perjanjian secara tertulis yang memuat klausul-klausul atau isi perjanjian yang disepakati. Diharapkan perjanjian kerjasama yang dibuat dengan klausul-klausul tertentu dapat memberikan keamanan bagi kedua belah pihak.

Perjanjian yang akan dibahas di sini adalah perjanjian yang bermotifkan atau bertujuan ekonomis, bertujuan keuntungan material, keuntungan yang bernilai uang. Perjanjian jenis ini biasa dipahami petani dalam wujud adanya kontrak antara petani dengan pihak lain. Baik itu berupa kontrak penanaman komoditi tertentu, kontrak peminjaman uang, kontrak penjualan atau jual beli ke perusahaan pengumpul komoditi.

Pada prakteknya, perjanjian yang dilakukan antara pihak non petani dan petani, meski ada yang sudah tertulis, masih bersifat sepihak. Sepihak dalam arti semua isi perjanjian masih berasal dari pihak non petani, petani hanya membaca atau dibacakan, setuju (meski belum tentu paham), lalu tandatangan. Pada kondisi pihak non petaninya memiliki visi yang menguntungkan semua pihak maka untunglah petani, namun jika hanya bervisi untung sepihak, untuk dirinya sendiri maka rugi lah petani. Dan pada banyak kasus justru petani lah yang dirugikan, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.


Petani dan Perjanjian

Ada cukup banyak petani yang telah melakukan kontrak atau perjanjian. Namun sayangnya belum semua perjanjian ini dipahami perlu dituangkan dalam sebuah kontrak tertulis. Sebagai contoh program kredit usaha tani (KUT), petani akan mendapat kredit dari pemerintah jika petani menanam komoditas tertentu dan sebaliknya pemerintah akan mendapatkan cadangan untuk ketahanan pangan. Selama ini belum muncul pemahaman bahwa yang dilakukan dalam program itu memerlukan kontrak (ikatan) perjanjian tertulis.

Pada proyek-proyek pembangunan di wilayah pedesaan juga ada banyak kasus. Sebagai contoh, Proyek Pengembangan Rawa Terpadu (Integrated Swamp Development Project; World Bank; 1994/1995-1999/2000) di Riau dan Pekanbaru misalnya, petani akan diberi bibit kelapa hibrida gratis, ongkos perawatan, saprodi dan sertifikasi lahannya. Syaratnya petani menyiapkan lahannya (membersihkan lahannya) yang berluas 1 hektar agar siap ditanami jatah 150-160 bibit kelapa dan menyerahkan SKT-nya (Surat Keterangan Tanah; biasa diberikan di wilayah eks program transmigrasi) agar bias disertifikatkan. Jika petani melakukan ini semua maka pemerintah akan mendapatkan keuntungan, jika program ini berhasil, petani bisa panen kelapa sehingga pendapatannya meningkat dan anggaran pemerintah untuk pengentasan kemiskinan dan pengelolaan rawa akan menurun. Namun kenyataannya setelah 4 tahun, hasil panen kelapa tidak menguntungkan, petani yang biasa dengan kelapa lokal terlanjur menebangi kelapa lokalnya untuk diganti hibrida, dan tragisnya ada petani yang tidak memperoleh sertifikat lahannya sebagaimana yang dijanjikan, dan mereka tak dapat berbuat apa-apa. Bukankah hal ini, sebelumnya, harus dikemas dalam suatu kontrak/perjanjian tertulis, sehingga ada kekuatan bagi petani untuk menuntut haknya?

Proyek Pengembangan Wilayah Bengkulu (Bengkulu Regional Development Project; World Bank; 1999/2000-2003/2004) dan juga Proyek Pemberdayaan Masyarakat untuk Pengembangan Pedesaan (Community Empowerment for Rural Development Project; ADB; 2001/2002-2006/2007), melakukan perubahan disain proyek di saat mereka sudah mengajak masyarakat. Perubahan disain ini menyebabkan masyarakat yang sudah terlibat dalam proyek ini di awal proyek justru tidak dilibatkan lagi. Padahal sudah ada perubahan-perubahan di masyarakat yang terjadi atas permintaan proyek tersebut. Bukankah hal ini, sebelumnya, juga harus dikemas dalam suatu kontrak/perjanjian tertulis, sehingga masyarakat secara jelas dapat memposisikan diri mereka dalam kedua proyek tersebut?

Contoh lain, tanpa perjanjian tertulis, petani di daerah Grobogan melakukan penanaman jagung varietas tertentu. Petani mendapat saprodi, bimbingan penanaman, dan biaya perawatan, dengan janji bahwa hasil panennya akan dibeli perusahaan namun pada kenyataannya tidak semua hasil petani dibeli oleh perusahaan, kalaupun mau, perusahaan membelinya dengan harga yang rendah. Atau tanpa perjanjian tertulis petani diminta membudidayakan jamur dengan terlebih dahulu membeli bibit jamur dan media tanamnya, kemudian hasil panennya akan dibeli perusahaan.

Di beberapa wilayah di seputar Kota Solo misalnya, ada perusahaan dengan perjanjian tertulis bersedia membeli umbi tanaman ginseng jika petani membeli bibit ginseng dari mereka dan menyerahkan batang tanaman tersebut dengan panjang tertentu. Namun dalam surat kontrak perjanjian ternyata ada beberapa hal yang tidak dicantumkan, bahkan tujuan kontrak tersebut berbeda dengan realitas pelaksanaan di lapangan. Pihak perusahaan sebelumnya juga menyatakan bahwa surat kontrak dapat dibuat bersama-sama oleh kedua belah pihak namun pada kenyataannya hanya dibuat sepihak tanpa melibatkan petani yang akan diajak kerjasama. Bahkan, saat ada petani yang tidak setuju dengan isi surat kontrak tersebut, wakil perusahaan menyatakan, “Kalau tidak setuju ya sudah, mau atau tidak mau ya ini perjanjiannya.”

Contoh-contoh yang di atas menandakan bahwa ada banyak kasus yang seharusnya dilakukan dengan perjanjian tertulis namun tidak dilakukan. Ada yang sudah dengan perjanjian tertulis namun sepihak, atau merugikan salah satu pihak. Kasus-kasus ini dilakukan oleh perorangan, perusahaan, proyek atau pemerintah.


Belajar dari Pengalaman

Banyaknya kasus-kasus yang merugikan petani, membuat petani ada yang sadar dan ada yang belum sadar. Diantara yang sudah menyadari kerugiannya pun ada yang sudah tahu cara menghadapi sebuah perjanjian ada pula yang belum tahu. Adalah menjadi penting bagi petani khususnya yang sudah belajar dari pengalaman rugi ini untuk membagikan pengalamannya agar petani lain tidak turut merugi pula.

Salah satu pengalaman belajar yang dilakukan oleh petani Kecamatan Sugihan dan Kecamatan Polokarto Sukoharjo Jawa Tengah adalah saat mereka tertarik melihat maraknya kerjasama penanaman ginseng antara petani dengan sebuah perusahaan pembeli umbi tanaman ginseng. Kerjasama tersebut ternyata menimbulkan keluhan-keluhan dari petani. Bayangan sukses sebelum bekerjasama dengan perusahaan, punah dalam prosesnya. Petani mengeluhkan hasil panen ginsengnya hanya mencapai 0,8 kg gingseng kering dari satu paket benih ginseng yang dibelinya dengan harga 1 juta rupiah. Hasil tersebut tidak seperti yang dipromosikan oleh pihak perusahaan, dimana dalam satu paketnya dapat menghasilkan minimal 3 kg gingseng kering yang akan dibeli dengan harga 2,5 juta rupiah per kg. Sementara dalam surat kontraknya resiko kegagalan panen tidak dicantumkan sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti nasib petani ketika tanamannya gagal.

Masalah yang berbeda ternyata dialami petani lainnya. Petani yang tertarik melakukan penanaman ginseng namun tidak mampu membeli bibit, terpaksa merelakan sertifikat tanahnya sebagai agunan. Namun karena surat kontraknya diberikan kepada petani setelah mereka menanam ginseng, belakangan mereka baru tahu kalau sertifikatnya tidak boleh diambil sebelum masa dua tahun. Kondisi ini tentunya sangat merugikan petani.

Atas kondisi-kondisi tersebut di atas, petani Sukoharjo, Klaten, dan lainnya, merasa prihatin dan terpanggil untuk ikut membantu petani lain agar tidak mengalami masalah yang sama dalam melakukan kontrak kerjasama. Mereka melakukan kajian khusus terhadap masalah perjanjian atau kontrak kerjasama dan melakukan langkah-langkah pembelaan untuk memperjuangkan nasib teman-temannya. Mereka juga melakukan penyebarluasan informasi tentang bagaimana seharusnya melakukan perjanjian kerjasama agar tidak merugi di kemudian hari.

Sebagai bentuk kepedulian pada nasib petani yang selalu dipermainkan itu lah maka bacaan ini tersaji. Isi yang disajikan merupakan hasil kajian teman-teman petani dan YDA Solo serta teman-teman lain yang peduli petani, serta rekaman pengalaman teman-teman petani di beberapa tempat. Bacaan yang harus dibaca sebelum menandatangani kontrak kerjasama, dengan satu harapan semoga memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi petani-petani Indonesia yang sedang memperjuangkan hak-hak dan eksistensi dirinya.

Ditulis sebagai Pengantar buku Kontrak Kerjasama Petani, Yayasan Duta Awam, 2004

2 Comments:

nasuha said...

Assalamu'alaykum. Pak saya lukman, mahasiswa FP-UB Malang. Saat ini saya sedang menempuh skripsi dengan topik kemitraan usaha tani. Saya membutuhkan buku 'Kontrak Kerjasama Petani" tersebut sebagai literatur. Apakah buku tersebut dijual bebas di pasaran?.Jika tidak, bagaimana saya bisa memperoleh buku tersebut?. Terima kasih pak atas tanggapannya dan meskipun ini adalah "tulisan lama", mudah-mudahan bapak masih berkenan menanggapinya.

Riza Solo said...

Wa 'alaikum salam

Coba hubungi Yayasan Duta Awam di dutaawam@dutaawam.org siapa tahu bukunya masih ada. Kalau tidak mungkin softcopy masih ada.

Salam,